BAHASA
INDONESIA
SEHARUSNYA
MEREPRESENTASIKAN “BUDAYA INDONESIA”
OLEH
MOH. FATAH YASIN
Abstrak
Bahasa
sebagai sarana dan produk budaya. Oleh karena itu, kegiatan berbahasa tidak
dapat dilepaskan dari kegiatan berpikir
dengan kerangka budaya tertentu. Pandangan bahwa manusia tidak dapat berpikir
tanpa bahasa, menguatkan bahwa bahasa
sebagai sarana kebudayaan berpikir dipandang
sebagai bagian dari budaya spiritual. Dalam konteks ke-Indonesiaan yang serba
menunjukkan keanekaragaman, kebhinekaan dalam berbagai hal ini eksisitensi
bahasa Indonesia yang terbentuk dari keragaman bahasa dan budaya daerah di
Indonesia menjadi topik yang penting
untuk dikaji.
PENDAHULUAN
Dalam setiap seminar tentang kesatuan
dan persatuan bangsa ini banyak
disampaikan himbauan tentang “membangun pemahaman interkultural dan keterampilan komunikasi
lintas budaya sehinggga
terbangun kesatuan melalui
perbedaan (unity through diversity). Keterampilan ini harus diwujudkan, karena
dalam realitasnya bangsa Indonesia terdiri atas
banyak etnis dengan
berbagai ragam bahasa
dan kebudayaan. Kondisi
yang demikian merupakan
keniscayaan bagi Indonesia dan ini telah disadari betul oleh bangsa
Indonesia dengan semboyannya
“Bhineka tunggal ika”.
Namun demikian, mungkin sekali belum
disadari oleh sebagian
anak bangsa Indonesia
bahwa keanekaragaman
tersebut berimplikasi pada
pentingnya pemahaman aneka
latar sehingga dapat
saling menghargai dan saling memahami.
Negara adalah kesatuan politis,
sedangkan bangsa adalah kesatuan sosiologis. Kesatuan bangsa terus-menerus
menjadi masalah yang
penyebab utamanya adalah
bangsa multietnik. Keniscayaan yang diidealkan adalah adanya kesiapan
bangsa Indonesia itu sendiri untuk hidup
berbangsa dalam multietnik. Hidup
berbangsa dalam multietnik harus mempunyai
kesiapan hidup dengan
ras-ras lain, pandangan
hidup lain, penghayatan iman
yang tidak sama,
harus pula belajar
hidup dengan orang
yang memiliki kepentingan yang tidak sama (Tilaar, 2000).
PEMBAHASAN
Otak manusia dapat digunakan untuk
berpikir, dan sarana untuk berpikir
salah satunya berupa
bahasa. Dengan bahasa,
manusia melakukan kegiatan berpikir.Dapat dibayangkan ketika
orang berpikir atau merenung tanpa bahasa apa yang terjadi. Oleh karena itu, dapat dimaklumi adanya pendapat bahwa
keunikan manusia sebenarnya tidak terletak
pada kemampuan beripikir
melainkan terletak pada kemampuan berbahasa.
Tentu saja tanpa
kemampuan berbahasa manusia
tidak akan dapat berpikir secara
sistematis dan teratur. Ernest Cassirer menyebut manusia sebagai homo
symbolicum ’makhluk yang
menggunakan simbol’ sehingga
manusia dapat menciptakan budaya.
Kebudayaan yang
dalam beberapa sumber
dipandang hasil cipta,
rasa, dan karsa masyarakat, yang
dalam perkembangannya termasuk proses/kegiatan berolah cipta, rasa, dan karsa
yang berarti pula melibatkan pikiran atau akal budi secara garis besar
dapat dibedakan menjadi
kebudayaan material dan
kebudayaan spiritual (Samsuri, 1985: 8).
Melalui kemampuan ciptanya manusia
memanfaatkan kemampuan mental dan
berpikir sehingga menghasilkan
pengetahuan. Melalui
kemampuan rasanya manusia
menciptakan norma dan
nilai kemasyarakatan demi kemaslakatan
masyarakat itu sendiri.
Melalui kemampuan karsanya
manusia menciptakan teknologi dan kebudayaan material. Sejalan dengan batasan
Tylor (Tilaar, 2000) kebudayaan merupakan
suatu keseluruhan yang
kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum,
adat istiadat, serta kemampuan berpikir dan kebiasaan lainnya yang diperoleh
manusia sebagai anggota masyarakat.
Representasi suatu bahasa pada hakikatnya berupa kegiatan
pemakaian bahasa itu sendiri
oleh komunitasnya dalam
berbagai keperluan. Nilai
bahasa terletak pada makna
yang disimbolkan oleh
suatu bahasa. Bahasa
boleh oleh sebagaian
besar ahli dipandang sebagai
wujud kebudayaan, dan di sisi
lain
bahasa sebagai wahana kebudayaan. Bahkan,
bahasa dipersepsi sebagai
simbol kebudayaan. Hal
itu tampak pada kenyataan
bahwa bahasa Inggris
dianggap sebagai simbol
modernisme dan teknologi, bahasa
Arab sebagai simbol agama Islam (Alwasilah, 2003). Oleh karenanya dapat diakui
bila vitalitas bahasa terletak pada kemampuan bahasa itu berfungsi sebagai
simbol kebudayaan.
Dari ilustrasi singkat tersebut dapat
dikuatkan adanya kaitan antara bahasa dan kebudayaan. Bahasa
sebagai bagian budaya
dan sebagai wahana
kebudayaan. Dari bahasa yang
digunakannya seseorang dapat
ditebak kebudayaannya, nilai
yang dianutnya, atau keyakinan agama yang dianutnya. Dari bahasanya pula
seseorang dapat diketahui sopan santunnya,
sikap terbuka tidaknya,
jalan pikirannya, bahkan kejujurannya (Kawulusan,
1998: 1). Dengan
gambaran yang demikian
itu, dapat dimaklumi adanya
pernyataan bahwa “bahasa
menunjukkan bangsa” (Samsuri, 1985).
Bagaimana arah
hubungan bahasa dan
kebudayaan, setidaknya terdapat
dua kutub pandangan yang telah muncul.
Pertama, pandangan yang sering disebut dengan hipotesis Worf
- Sapir yang
pada intinya menyatakan
bahwa bahasa memengaruhi kebudayaan (Wardhaugh,
1992; Chair, 1994,
Yule, 1990). Dalam
konsep ini bahasa dipandang memengaruhi
pikiran komunitas pemakainya,
dan disebutnya dengan ”language
determines thought ”, yang sering pula disebut linguistic determinism (Yule, 1990: 196). Bahasa merupakan dasar
pikiran karena bahasa memang merupakan wahana berpikir atau bernalar (Hakuta, 1986). Oleh karena itu, penutur yang
berbeda bahasa memiliki pola pikir yang berbeda pula. Apa yang dilakukan
masyarakat bahasa dipengaruhi oleh
sifat bahasanya. Kedua,
pandangan yang bertolak
belakang dengan hipotesis yang
pertama, yang perpandangan bahwa kebudayaan memengaruhi bahasa. Perilaku
masyarakat saat berbahasa dipengaruhi oleh
kebudayaan masyarakat itu pula
atau dengan pernyataan lain bahasa merefleksikan budaya. Sistem budaya akan
mengontrol perilaku manusia
melalui sistem kontrol
sosial dan sistem
kepribadian (Parsons dalam Mahsun,
2013). Secara tegas,
Koentjaraningrat (1990) menyatakan bahwa kebudayaan sangat menentukan
wujud bahasa.
Dalam era
globalisasi tidak berarti
aspek kehidupan manusia
baik bidang ekonomi,
politik, maupun kebudayaan akan secara
otomatis menjadi homogin. Justru pada era
globalisasi tersebut kekhususan
suatu bangsa semakin
tampak (atau ditampakkan?). Hal
itu tampak dari
adanya penegasan tentang
kemerdekaan, atau kedaulatan suatu
bangsa. Salah satu
kekhususan yang terdapat
pada identitas bangsa adalah bahasa, bahasa dijadikan jati
diri bangsa. Jati diri bangsa dapat menguat, dapat pula melemah.
Kedudukan dan
fungsi bahasa Indonesia
Secara politis telah
jelas. Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional
(bahasa persatuan) tercantum dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dan sebagai
bahasa negara tercantum dalam UUD 1945, Bab XV, pasal 36, dan UU nomor 24 Tahun
2009. Kondisi yang demikian boleh
dibanggakan, karena negara yang begitu luas dan penduduk yang terdiri atas berbagai etnis sejak
kemerdekaanya telah memiliki satu bahasa
untuk menyelenggarakan negara.
Dalam kemerdekaannya itu, bangsa
Indonesia bertekat untuk membangun kebudayaan nasional, kebudayaan Indonesia
melalui pembangunan bahasa Indonesia (Lihat fungsi dan kedudkan bahasa
Indonesia sebagai bahasa negara!). Bahasa Indonesia
sebagai alat integrasi
bangsa (secara politis)
tampak jelas fungsinya dalam
kedudukannya sebagai bahasa
nasional, yaitu lambang
kebanggaan nasional, lambang identitas
nasional, alat pemersatu
bangsa, dan alat
perhubungan antarbudaya dan antardaerah.
Telah diketahui bahwa
wilayah Indonesia begitu
luas, yang terdiri atas ribuan pulau dengan penduduk yang sangat majemuk,
berlatar etnis, budaya, dan
bahasa yang beraneka ragam.
Pemakai bahasa Indonesia berdasarkan
hasil penelitian Moeliono menunjukkan
keadaan berikut ini. Penduduk yang berusia lima tahun ke atas dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) penduduk yang mengaku memakai bahasa
Indonesia sebagai bahasa sehari-hari sekitar 24 juta (15%), (2) penduduk yang
mengaku dapat berbahasa Indonesia, tetapi tidak memakainya sebagai bahasa
sehari-hari sebanyak 107 juta (68%), dan (3) penduduk yang belum memahami
bahasa Indonesia 27 juta (17%) (lihat Moeliono, 1998). Kondisi itu ternyata
sejalan dengan tingkat pendidikan usia kerja, yaitu angkatan kerja usia
sepuluh tahun ke
atas yang berpendidikan
SD mencapai 78%
(Moeliono, 1998). Hal itu
menunjukkan bahwa untuk
penduduk Indonesia, semakin
tinggi pendidikan seseorang semakin
baik potensi seseorang
untuk dapat mengungkapkan dirinya lewat bahasa Indonesia
dalam kehidupan sehari-hari. Keadaan
tersebut tentu saja dipengaruhi oleh aspek lain, satu di antaranya adalah
adanya bahasa dan
kebudayaan daerah. Mengapa
demikian? Kiranya dapat
diyakini, bahwa penduduk yang termasuk ke dalam kelompok (2) dan (3),
atau tidak termasuk ke dalam kelompok (1) tersebut dalam kehidupan sehari-hari
sebagian besar menggunakan bahasa
daerah. Hal itu
ditunjukkan oleh sebaran
penutur bahasa di
Indonesia yang ternyata penutur
bahasa Indonesia hanya
mencapai 15,19%, jauh
di bawah penutur bahasa Jawa yang mencapai 38,08% dan
hampir sama dengan jumlah penutur bahasa Sunda yang mencapai 15,26%, bahasa daerah lainnya memang kurang dari 5%. Selain itu,
pada saat melakukan komunikasi penutur bahasa
Indonesia itu menggunakan
tata nilai kebudayaan
penutur itu sendiri
yang dominan warna kebudayaan
daerahnya. Hal itu
didasarkan pada kenyataan
bahwa kebudayaan Indonesia (nasional)
diklaim sebagai puncak
kebudayaan daerah, yang tentulah belum tentu merupakan asimilasi
atau fusi dari sejumlah kebudayaan daerah (Alwasilah, 2003).
Bahasa Indonesia
digunakan untuk berinteraksi
antaretnis tersebut yang
tentu saja merupakan multibudaya
juga. Pada saat
berbahasa Indonesia, masyarakat cenderung menggunakan
norma atau tata
nilai kebudayaan daerah.
Sebagai konsekuensinya,
tidak jarang komunikasi
tersebut kurang harmonis,
bahkan sampai pada taraf
yang “menyakitkan”, yaitu
salah paham. Agar
interaksi antaretnis dapat berlangsung secara
harmonis diperlukan pemahaman
lintas budaya, yaitu
lintas antarsubbudaya.
Kebudayaan daerah dapat
dipandang sebagai subbudaya (Popenoe,1983: 5). Pemahaman lintas
budaya itu setidaknya berupa pemahaman sistem nilai, yang dapat mencakup antara lain santun berkomunikasi suatu subbudaya, sterio tipe suatu
subbudaya, tata makna
kata dalam subbudaya.
Dalam perkembangannya, hubungan antara
budaya Indonesia dengan
budaya daerah/lokal sebagai
subbudaya tersebut
ternyata menimbulkan pelemik
dalam kaitannya pengembangan
bangsa ke depan.
Atas dasar
hal tersebut akan
dimungkinkan dalam kegiatan
berbahasa, orang Indonesia yang
menggunakan bahasa Indonesia
sebenarnya belum menggunakan kebudayaan Indonesia, melainkan
menggunakan kebudayaan “Indonesia”. Kebudayaan “Indonesia” itu
dapat berupa budaya
daerah, atau asimilasi/fusi antarbudaya
daerah. Dengan demikian,
sesama orang Indonesia
yang melakukan kegiatan
berwacana menggunakan bahasa Indonesia
dimungkinkan saling berusaha
memprediksi, mengapresiasi,
dan kemudian memahami
kebudayaan yang digunakannya.
Misalnya, orang Jawa berbahasa Indonesia menggunakan tata nilai
kebudayaan Jawa, orang Sunda berbahasa
Indonesia menggunakan kebudayaan
Sunda, dan seterusnya.
Sebagai konsekuensinya, adanya muatan
kebudayaan yang bermacam-macam tersebut
dapat menimbulkan terjadinya salah
paham dalam berkomunikasi. Bahkan,
Kartomihardjo (1996) memberikan pernyataan bahwa terdapat kecenderungan
orang Jawa dipandang oleh orang Sunda sebagai
tidak tegas, plinplan, dan
sebagainya berdasarkan perilaku berbahasanya, dan sebaliknya orang
Jawa cenderung menganggap orang Sunda terlalu kasar, berterus terang dan
sebagainya.
PENUTUP
Kegiatan berbahasa
tidak dapat dilepaskan dari
kegiatan berpikir. Oleh karena itu,
bahasa selain memiliki fungsi utama sebagai alat komunikasi, terdapat satu
fungsi bahasa yang utama lagi
yaitu sebagai sarana
bernalar atau berpikir.
Pengajaran bahasa
memiliki peranan penting di
dalam upaya merealisasikan fungsi
ini. Hal itu
didasari oleh kenyataan adanya
kaitan yang erat antara sistem budaya, berbahasa, dan berpikir sebagai
bagian dari budaya.
Keunikan manusia
bukan sekedar ditunjukkan
oleh kemampuan berpikir melainkan
oleh kemampuan berbahasa.
Manusia tidak pernah dapat
berpikir tanpa bahasa. Melalui
bahasa manusia dapat
mengembangkan pengetahuan dan mewariskannya pada
generasi berikutnya. Dalam
konteks Indonesiaan yang
serba menunjukkan
keanekaragaman, kebinekaan dalam
berbagai hal eksisitensi
bahasa Indonesia di antara keragaman
bahasa dan budaya daerah di
Indonesia menjadi topik penting di dalam
persoalan asimilasi dan integrasi budaya.
Bila dikaitkan
dengan pendidikan di
Indonesia, bahasa Indonesia
memiliki peranan sentral dalam
perkembangan intelektual, sosial,
dan emosional peserta
didik dan merupakan penunjang
keberhasilan dalam mempelajari
semua bidang studi,
di samping bahasa daerah
yang peranannya tidak
dapat diabaikan. Pengajar
bahasa Indonesia sudah selayaknya menyadari benar akan pentingnya aspek
budaya dan bahasa daerah serta bahasa sebagai alat berpikir, pengajaran bahasa
Indonesia diarahkan pula pada
pengembangan berpikir. Pembelajaran
berbasis teks selalu
mempertimbangkan persoalan
konteks, baik konteks
sistuasi maupun konteks
budaya. Teks serbagai realiasasi atau
wujud perilaku verbal
manusia selalu dilatarbelakangi oleh
konteks, yaitu konteks situasi dan konteks budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah,
Ch. 2003. “Pemertahanan Bahasa Ibu: Kasus Bahasa Sunda” dalam
www.bahasa-sastra.web.id./chaedar.esp.
Chair,
A. 1994. Linguistik Umum .Jakarta: Rineka Cipta.
Hakuta,
K. 1986. Mirro of Language. New York: basic Books, Inc., Publishers.
Kartomihardjo,
S. 1996. “Pemahaman Wacana antarbudaya,” Makalah disampaikan
dalam
Pellba 10. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.
Kawulusan,
H.E. (1998). “Bahasa Politik dalam
Bahasa Indonesia”, Makalah disajikan
dalam
Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta: Depdikbud.
Koentjaraningrat.
1992. Kebudayaan, Mentalitas, dan
Pembangunan . Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Mahsun.
2013. ”Pembelajaran Teks dalam Kurikulum 13” , Media Indonesia, 17 April
2013. Jakarta: Media Indonesia.
Moeliono,
A.M. 1998. “Kedudukan dan Fungsi Bahasa
Indonesia dalam Era
Globalisasi”, Makalah disajikan dalam
Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta:
Depdikbud.
Popenoe,
D. 1983. Sociology. Englewood Cliffs:
Prentice-Hall, Inc.
Samsuri.
1985. Tata Kalimat Bahasa Indonesia.Jakarta: PT Sastra Hudaya.
Tilaar,
H.A.R. 2000. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia .
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Wardhaugh,
R. 1992. An Introduction to Sociolinguistics (Second Edition). Oxford :
Blackwell Publishers.
Yule,
G. 1990. The Study of Language. Cambridge: Cambridge University Press.