expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Kamis, 07 Juli 2016

Bahasa: Aturan Dan Kesepakatan



MAKALAH

BAHASA : ATURAN DAN KESEPAKATAN
OLEH
MOH. FATAH YASIN


            Makna, sebagai penghubung bahasa dengan dunia luar, sesuai dengan kesepakatan para pemakainya sehingga dapat saling dimengerti, dalam keseluruhannya memiliki tiga tingkat keberadaan. Pada tingkat pertama, makna menjadi isi abstraksi dalam kegiatan bernalar secara logis sehingga membuahkan proposisi yang benar. Tingkat kedua, makna menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan. Pada tingkat ketiga, makna menjadi isi komunikasi yang mampu membuahkan informasi tertentu (Aminuddin, 1985:5).
            Suatu bahasa mengandung klasifikasi pengalaman implicit. Sistem bahasa itu secara beberapadalam realitas. Oleh karena itu, bahasa tidak akan membuat penuturnya buta terhadap fakta-fakta nyata dunia, tetapi malah mengisyaratkan adanya hubungan-hubungan. Untuk menjelaskan bahwa bahasa merupakan aturan dan kesepakatan di bawah ini dikemukakan beberapa kajian.

Struktur Semantik
            Yang dimaksud dengan struktur semantic adalah bagaimana suatu bahasa mengkodifikasi suatu fenomena. Struktur semantic juga sering disebut lexical store. Sebagai contoh, dalam bahasa Madura nambara’ (musim penghujan) dan nimur (musim kemarau) tidak selalu bersinonim dengan musim penghujan dan musim kemarau secara universal. Dalam bahasa Madura nambara’ berarti datang dari arah barat pulau Madura dan nimur berarti darangnya dariu arah timur pulau Madura. Dengan kata lain, masyarakat Madura memahami bahwa datangnya musim penghujan selalu diawali dari arah barat pulau Madura yaitu Bangkalan, sedang datangnya musim kemarau selalu diawali dari arah timur pulau Madura yaitu Sumenep. Oleh karena itu, referensi nambara’ dan nimur bagi masyarakat Madura berimplikasi pada cara bercocok tanam. Bagi masyarakat yang ingin bercocok tanam padi dan peternak ikan sebaiknya dilakukan di daerah barat pulau Madura, sedang yang ingin bercocok tanam tembakau dan petani garam sebaiknya dilakukan di daerah timur pulau Madura.
            Perbedaan-perbedaan klasifikasi fenomena dunia/lingkungan pada kelompok-kelompok masyarakat itu tidak saja menandai perbedaan bahasa-bahasa mereka, tetapi juga perbedaan kehidupan dan pandangan mereka. Berdasarkan contoh tersebut dapat dikatakan bahwa orang  Madura memiliki visi tersendiri terhadap fenomena alam.

Struktur Gramatikal
            Kekhasan struktur gramatikal suatu bahasa biasanya parallel dengan keunikan cara penutur bahasa itu dalam melihat dan memikirkan tentang atau bereaksi terhadap lingkungannya. Sebagai contoh bahasa Cina tidak memiliki konsep jamak dan tunggal, dan juga tidak terdapat klausa relative. Keunikan cirri gramatikal terlihat pula dalam bahasa Hopi. Bahasa ini tidak memiliki system kala dan klasifikasi peristiwa-peristiwa menurut kategori waktu. Mereka menganggap lebih penting membedakan antara lama peristiwa dan kepastian peristiwa daripada kapan peristiwa itu terjadi (Allen dan Corder, 1983, Sampson, 1980)

Pragmatik
Komponen pragmatic  mencakup penutur suatu bahasa beserta konteks sosiokulturalnya. Aspek sosiokultural memegang peranan yang amat krusial dalam proses komunikasi, suatu aspek yang masih merupakan bagian dari “the egocentric self” dalam proses transaksional (Brown, 1987:122),
            Inti aspek sosiokultural adalah budaya (Larsen dan Smalley, 1982:39). Dengan demikian, budaya menentukan konteks perilaku kognitif dan afektif bagi setiap orang, suatu pola bagi eksistensi personal dan social. Akan tetapi, manusia cenderung melihat realitas dalam konteks budayanya sendiri. Hal ini merupakan realitas yang diciptakan dan tidak mesti merupakan realitas objektif. Dunia yang bermakna tempat setiap manusia hidup bukanlah realitas universal, tetapi merupakan suatu kategori realitas yang terdiri dari tataan cirri-ciri penanda secara selektif yang dipandang penting oleh masyarakat tempat ia hidup (Brown, 1987:142).

Semantik
            Psikolinguis beranggapan bahwa bahasa tidak lebih dari suatu alat untuk pertukaran pengetahuan antara penutur dan pendengar. Dalam prose situ, makna kata bergantung pada system konseptual penutur dan pendengar dan konteks di mana kata/ujaran itu diujarkan.
            Suatu ujaran mengandung suatu pesan. Pesan itu ditentukan oleh pengetahuan penutur dan situasi kontekstual di mana ujaran itu diujarkan. Oleh karena itu, makna dibangun dengan ujaran-ujaran linguistic oleh pasangan penutur-pendengar dalam konteks pragmatic tertentu (Palermo dan Bourne, 1984).
Penutup
            Berdasarkan uraian di atas, tampaknya terdapat tiga dimensi yang menjadi tumpuan teori-teori di atas, yaitu bahasa, budaya dan pikiran, dengan visi dunia sebagai titik tolaknya. Budaya, bahasa, dan pikiran saling terkait dengan visi dunia sebagai unsur dasarnya. Budaya (dengan visi dunia sebagai referent) merupakan bagian integral dari interaksi antara bahasa dan pikiran. Pola-pola budaya, adat-istiadat, dan pola hisup terekspresikan dalam bahasa, serta visi dunia yang culture specific tercermin dalam bahasa (Brown, 1987)
            Bila antara budaya dan bahasa dipertanyakan apakah bahasa ataukap budaya yang lebih dahulu, maka pertanyaan itu tidak dapat dijawab hitam putih. Sejauh ini, penjelasan terhadap pertanyaan itu adalah bahwa keduanya tumbuh dan berkembang secara bersama-sama, saling mempengaruhi. Walaupun demikian, apabila budaya dan bahasa dipisahkan , Whorf berkata bahwa bahasalah yang jauh lebih mapan, lebih sistematik dan lebih kokoh (Sampson, 1980:22).
            Perlu dicatat bahwa perbedaan bahasa terjadi lebih banyak disebabkan oleh perbedaan visi dunia. Oleh karena itu, untuk mengatasi kesenjangan komunikasi lintas budaya, harus terdapat asumsi bahwa setiap individu adalah culturally sensitive. Artinya, yang bersangkutan harus mengakui bahwa orang lain adalah juga produk budaya, seperti dirinya, yang didasari oleh perbedaan visi dunia (Seelye, 1987:28). Berdasarkan anggapan ini, setiap orang yang berkomunikasi akan menerima dan memahami bahasa yang mereka gunakan. Oleh karena itu, setiap individu yang ingin berkomunikasi harus menetapkan aturan dan kesepakatan referensi, gramatikal, dan semantic bahasanya.
            Secara gamblang, Robinson (1988) menawarkan bahwa kesenjangan komuniukasi dapat dijembatani dengan pengeathauan tentang aturan dan kesepakatan pada kedua patner wicara, yaitu aturan dan kesepakatan tentang perbedaan asumsi-asumsu cultural, acuan dan makna, sistem gramatikal, pragmatik dan lain sebagainya.


Daftar Pustaka
Allen,J.P.B. and Corder, S.P. 1983. Reading for Applied Linguistics. London:Oxford University
Press.

Aminuddin, 1985. Semantik Pengantar Studi tentang Makna. Malang:FPBS IKIP Malang

Brown, H.D. 1987. Principles of Language Learning ang Teaching. Englewood Cliffs, New
Jersey:Prentice-Hall, Inc.

Palermo,D.S and Lyle E. Bourne, Jr. 1984. Psychology of Language. Glenview Scoot:Forresman
and Company.

Robinson G.L.N. 1987. Crosscultural Understanding. New York:Prentice-Hall,Inc.

Seelye, H. 1987. Teaching Culture:Strategies for Intercultural Communication. Lincolnwood:
National Textbook Company.

Sampson, G. 1980. School of Language: Competition and Evolution. London:Hutchinson

Kamis, 16 Juni 2016

APAKAH BAHASA INDONESIA MEREPRESENTASIKAN BUDAYA



BAHASA INDONESIA
SEHARUSNYA MEREPRESENTASIKAN “BUDAYA INDONESIA”

OLEH
MOH. FATAH YASIN


Abstrak
Bahasa sebagai sarana dan produk budaya. Oleh karena itu, kegiatan berbahasa tidak dapat  dilepaskan dari kegiatan berpikir dengan kerangka budaya tertentu. Pandangan bahwa manusia tidak dapat berpikir tanpa bahasa,  menguatkan bahwa bahasa sebagai sarana kebudayaan  berpikir dipandang sebagai bagian dari budaya spiritual. Dalam konteks ke-Indonesiaan yang serba menunjukkan keanekaragaman, kebhinekaan dalam berbagai hal ini eksisitensi bahasa Indonesia yang terbentuk dari keragaman bahasa dan budaya daerah di Indonesia menjadi topik  yang penting untuk dikaji.

PENDAHULUAN
Dalam setiap seminar tentang kesatuan dan persatuan bangsa ini  banyak disampaikan himbauan tentang “membangun pemahaman  interkultural dan keterampilan  komunikasi  lintas  budaya  sehinggga  terbangun  kesatuan  melalui  perbedaan  (unity through diversity). Keterampilan ini harus diwujudkan, karena dalam realitasnya bangsa Indonesia terdiri atas  banyak  etnis  dengan  berbagai  ragam  bahasa  dan  kebudayaan.  Kondisi  yang demikian   merupakan keniscayaan bagi Indonesia dan ini telah disadari betul oleh bangsa Indonesia  dengan  semboyannya  “Bhineka  tunggal  ika”.  Namun  demikian,    mungkin sekali  belum  disadari  oleh  sebagian  anak  bangsa  Indonesia  bahwa  keanekaragaman tersebut  berimplikasi  pada  pentingnya  pemahaman  aneka  latar  sehingga  dapat  saling menghargai dan saling memahami.
Negara adalah kesatuan politis, sedangkan bangsa adalah kesatuan sosiologis. Kesatuan bangsa  terus-menerus  menjadi  masalah  yang  penyebab  utamanya  adalah  bangsa multietnik. Keniscayaan yang diidealkan adalah adanya kesiapan bangsa Indonesia itu sendiri  untuk  hidup  berbangsa dalam  multietnik.  Hidup  berbangsa  dalam  multietnik harus  mempunyai  kesiapan  hidup  dengan  ras-ras  lain,  pandangan  hidup  lain, penghayatan  iman  yang  tidak  sama,  harus  pula  belajar  hidup  dengan  orang  yang memiliki kepentingan yang tidak sama (Tilaar, 2000).
PEMBAHASAN
Otak manusia dapat digunakan untuk berpikir, dan sarana untuk berpikir  salah  satunya  berupa  bahasa.  Dengan  bahasa,  manusia  melakukan  kegiatan berpikir.Dapat dibayangkan ketika orang berpikir atau merenung tanpa bahasa apa yang terjadi.  Oleh karena itu,  dapat dimaklumi adanya pendapat bahwa keunikan manusia sebenarnya  tidak  terletak  pada  kemampuan  beripikir  melainkan  terletak  pada kemampuan  berbahasa.  Tentu  saja  tanpa  kemampuan  berbahasa  manusia  tidak  akan dapat berpikir secara sistematis dan teratur. Ernest Cassirer menyebut manusia sebagai homo  symbolicum  ’makhluk  yang  menggunakan  simbol’ sehingga manusia dapat menciptakan budaya.
Kebudayaan  yang  dalam  beberapa  sumber  dipandang  hasil  cipta,  rasa,  dan karsa masyarakat, yang dalam perkembangannya termasuk proses/kegiatan berolah cipta, rasa, dan karsa yang berarti pula melibatkan pikiran atau akal budi secara garis besar dapat  dibedakan  menjadi  kebudayaan  material  dan  kebudayaan  spiritual  (Samsuri, 1985: 8). 
Melalui kemampuan ciptanya manusia memanfaatkan kemampuan  mental  dan  berpikir  sehingga  menghasilkan  pengetahuan. Melalui  kemampuan  rasanya  manusia  menciptakan  norma   dan  nilai  kemasyarakatan demi  kemaslakatan  masyarakat  itu  sendiri.  Melalui  kemampuan  karsanya  manusia menciptakan teknologi dan kebudayaan material. Sejalan dengan batasan Tylor (Tilaar, 2000)  kebudayaan  merupakan  suatu  keseluruhan  yang  kompleks  dari  pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, serta kemampuan berpikir dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. 
Representasi  suatu bahasa pada hakikatnya berupa kegiatan pemakaian  bahasa itu  sendiri  oleh  komunitasnya  dalam  berbagai  keperluan.  Nilai  bahasa  terletak  pada makna  yang  disimbolkan  oleh  suatu  bahasa.  Bahasa  boleh  oleh  sebagaian  besar  ahli dipandang  sebagai  wujud  kebudayaan,  dan  di  sisi  lain  bahasa  sebagai  wahana kebudayaan.  Bahkan,  bahasa  dipersepsi  sebagai  simbol  kebudayaan.  Hal  itu  tampak pada  kenyataan  bahwa  bahasa  Inggris  dianggap  sebagai  simbol  modernisme  dan teknologi, bahasa Arab sebagai simbol agama Islam (Alwasilah, 2003). Oleh karenanya dapat diakui bila vitalitas bahasa terletak pada kemampuan bahasa itu berfungsi sebagai simbol kebudayaan.
            Dari ilustrasi singkat tersebut dapat dikuatkan adanya kaitan antara bahasa dan kebudayaan.  Bahasa  sebagai  bagian  budaya  dan  sebagai  wahana  kebudayaan.  Dari bahasa  yang  digunakannya  seseorang  dapat  ditebak  kebudayaannya,  nilai  yang dianutnya, atau keyakinan agama yang dianutnya. Dari bahasanya pula seseorang dapat diketahui  sopan  santunnya,  sikap  terbuka  tidaknya,  jalan  pikirannya,  bahkan kejujurannya  (Kawulusan,  1998:  1).  Dengan  gambaran  yang  demikian  itu,  dapat dimaklumi  adanya    pernyataan    bahwa  “bahasa  menunjukkan  bangsa”  (Samsuri, 1985).
            Bagaimana  arah  hubungan  bahasa  dan  kebudayaan,  setidaknya  terdapat  dua kutub pandangan yang telah muncul.  Pertama, pandangan yang sering disebut dengan hipotesis  Worf  -  Sapir    yang  pada  intinya  menyatakan  bahwa  bahasa  memengaruhi kebudayaan  (Wardhaugh,  1992;  Chair,  1994,  Yule,  1990).  Dalam  konsep  ini  bahasa dipandang  memengaruhi  pikiran  komunitas  pemakainya,  dan  disebutnya  dengan ”language determines thought ”, yang sering pula disebut linguistic determinism  (Yule, 1990: 196). Bahasa merupakan dasar pikiran karena bahasa memang merupakan wahana berpikir atau bernalar  (Hakuta, 1986). Oleh karena itu, penutur yang berbeda bahasa memiliki pola pikir yang berbeda pula. Apa yang dilakukan masyarakat bahasa  dipengaruhi  oleh  sifat  bahasanya.  Kedua,  pandangan  yang  bertolak  belakang dengan  hipotesis yang pertama,  yang perpandangan  bahwa kebudayaan  memengaruhi bahasa.  Perilaku  masyarakat  saat  berbahasa dipengaruhi  oleh  kebudayaan  masyarakat itu pula atau dengan pernyataan lain bahasa merefleksikan budaya. Sistem budaya akan mengontrol  perilaku  manusia  melalui  sistem  kontrol  sosial  dan  sistem  kepribadian (Parsons  dalam  Mahsun,  2013).  Secara  tegas,  Koentjaraningrat  (1990)  menyatakan bahwa kebudayaan sangat menentukan wujud bahasa. 
Dalam  era  globalisasi  tidak  berarti  aspek  kehidupan  manusia  baik  bidang ekonomi, politik,  maupun kebudayaan akan secara otomatis  menjadi  homogin. Justru pada  era  globalisasi  tersebut  kekhususan  suatu  bangsa  semakin  tampak  (atau ditampakkan?).  Hal  itu  tampak  dari  adanya  penegasan  tentang  kemerdekaan,  atau kedaulatan  suatu  bangsa.  Salah  satu  kekhususan  yang  terdapat  pada  identitas  bangsa adalah bahasa, bahasa dijadikan jati diri bangsa. Jati diri bangsa dapat menguat, dapat pula melemah.
            Kedudukan  dan  fungsi    bahasa  Indonesia  Secara  politis  telah  jelas.  Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional (bahasa persatuan)  tercantum dalam  Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dan sebagai bahasa negara tercantum dalam UUD 1945, Bab XV, pasal 36, dan UU nomor 24 Tahun 2009.  Kondisi yang demikian boleh dibanggakan, karena negara yang begitu luas dan penduduk  yang terdiri atas berbagai etnis sejak kemerdekaanya telah memiliki  satu bahasa untuk menyelenggarakan negara.
Dalam kemerdekaannya itu, bangsa Indonesia bertekat untuk membangun kebudayaan nasional, kebudayaan Indonesia melalui pembangunan bahasa Indonesia (Lihat fungsi dan kedudkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara!).  Bahasa  Indonesia  sebagai  alat  integrasi  bangsa  (secara  politis)    tampak  jelas fungsinya  dalam  kedudukannya  sebagai  bahasa  nasional,  yaitu  lambang  kebanggaan nasional,  lambang  identitas  nasional,  alat  pemersatu  bangsa,  dan  alat  perhubungan antarbudaya  dan  antardaerah.  Telah  diketahui  bahwa  wilayah  Indonesia  begitu  luas, yang terdiri atas ribuan pulau dengan penduduk yang sangat majemuk, berlatar  etnis, budaya,  dan  bahasa  yang  beraneka ragam.
Pemakai bahasa Indonesia berdasarkan hasil penelitian  Moeliono menunjukkan keadaan berikut ini. Penduduk yang berusia lima tahun ke atas dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) penduduk yang mengaku memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari sekitar 24 juta (15%), (2) penduduk yang mengaku dapat berbahasa Indonesia, tetapi tidak memakainya sebagai bahasa sehari-hari sebanyak 107 juta (68%), dan (3) penduduk yang belum memahami bahasa Indonesia 27 juta (17%) (lihat Moeliono, 1998). Kondisi itu ternyata sejalan dengan tingkat pendidikan usia kerja, yaitu angkatan kerja  usia  sepuluh  tahun  ke  atas  yang  berpendidikan  SD  mencapai  78%  (Moeliono, 1998).    Hal  itu  menunjukkan  bahwa  untuk  penduduk  Indonesia,  semakin  tinggi pendidikan  seseorang  semakin  baik  potensi  seseorang  untuk  dapat  mengungkapkan dirinya lewat bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.   Keadaan tersebut tentu saja dipengaruhi oleh aspek lain, satu di antaranya adalah adanya  bahasa  dan  kebudayaan  daerah.  Mengapa  demikian?  Kiranya  dapat  diyakini, bahwa penduduk yang termasuk ke dalam kelompok (2) dan (3), atau tidak termasuk ke dalam kelompok (1) tersebut dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar menggunakan bahasa  daerah.  Hal  itu  ditunjukkan  oleh  sebaran  penutur  bahasa  di  Indonesia  yang ternyata  penutur  bahasa  Indonesia  hanya  mencapai  15,19%,  jauh  di  bawah  penutur bahasa Jawa yang mencapai 38,08% dan hampir sama dengan jumlah penutur bahasa Sunda yang  mencapai 15,26%, bahasa daerah  lainnya memang kurang dari 5%. Selain itu, pada saat melakukan komunikasi penutur bahasa  Indonesia  itu  menggunakan  tata  nilai  kebudayaan  penutur  itu  sendiri  yang dominan  warna  kebudayaan  daerahnya.  Hal  itu  didasarkan  pada  kenyataan  bahwa kebudayaan  Indonesia  (nasional)  diklaim  sebagai  puncak  kebudayaan  daerah,  yang tentulah belum tentu merupakan asimilasi atau fusi dari sejumlah kebudayaan daerah (Alwasilah,  2003). 
Bahasa  Indonesia  digunakan  untuk  berinteraksi  antaretnis  tersebut  yang  tentu saja  merupakan  multibudaya  juga.  Pada  saat  berbahasa  Indonesia,  masyarakat cenderung  menggunakan  norma  atau  tata  nilai  kebudayaan  daerah.  Sebagai konsekuensinya,  tidak  jarang  komunikasi  tersebut  kurang  harmonis,  bahkan  sampai pada  taraf  yang  “menyakitkan”,  yaitu  salah  paham.  Agar  interaksi  antaretnis  dapat berlangsung  secara  harmonis  diperlukan  pemahaman  lintas  budaya,  yaitu  lintas antarsubbudaya.  Kebudayaan  daerah  dapat  dipandang  sebagai  subbudaya (Popenoe,1983: 5). Pemahaman lintas budaya itu setidaknya berupa pemahaman sistem nilai,  yang dapat mencakup antara lain santun  berkomunikasi suatu subbudaya, sterio tipe  suatu  subbudaya,  tata  makna  kata  dalam  subbudaya.  Dalam  perkembangannya, hubungan  antara  budaya  Indonesia  dengan  budaya  daerah/lokal  sebagai  subbudaya tersebut    ternyata  menimbulkan  pelemik  dalam  kaitannya  pengembangan  bangsa  ke depan.
Atas  dasar  hal  tersebut  akan  dimungkinkan  dalam  kegiatan  berbahasa,  orang Indonesia  yang  menggunakan  bahasa  Indonesia  sebenarnya  belum  menggunakan kebudayaan Indonesia, melainkan menggunakan kebudayaan “Indonesia”. Kebudayaan “Indonesia”  itu  dapat  berupa  budaya  daerah,  atau  asimilasi/fusi  antarbudaya  daerah.  Dengan  demikian,  sesama  orang  Indonesia  yang  melakukan  kegiatan  berwacana menggunakan  bahasa  Indonesia  dimungkinkan  saling  berusaha  memprediksi, mengapresiasi,  dan  kemudian  memahami  kebudayaan  yang  digunakannya.  Misalnya, orang Jawa berbahasa Indonesia menggunakan tata nilai kebudayaan Jawa, orang Sunda berbahasa  Indonesia  menggunakan  kebudayaan  Sunda,  dan  seterusnya.  Sebagai konsekuensinya,  adanya  muatan  kebudayaan  yang  bermacam-macam  tersebut  dapat menimbulkan  terjadinya  salah  paham  dalam  berkomunikasi.  Bahkan,  Kartomihardjo (1996) memberikan pernyataan bahwa terdapat kecenderungan orang Jawa dipandang oleh  orang  Sunda sebagai  tidak tegas,  plinplan,  dan  sebagainya  berdasarkan  perilaku berbahasanya, dan sebaliknya orang Jawa cenderung menganggap orang Sunda terlalu kasar, berterus terang dan sebagainya.
PENUTUP
Kegiatan  berbahasa  tidak  dapat dilepaskan dari kegiatan berpikir.  Oleh karena itu, bahasa selain memiliki fungsi utama sebagai alat komunikasi, terdapat satu fungsi  bahasa yang utama  lagi  yaitu  sebagai  sarana  bernalar  atau  berpikir. 
Pengajaran  bahasa  memiliki peranan  penting  di  dalam  upaya  merealisasikan  fungsi  ini.  Hal  itu  didasari  oleh kenyataan adanya kaitan yang erat antara sistem budaya, berbahasa, dan berpikir sebagai bagian  dari  budaya. 
Keunikan  manusia  bukan  sekedar  ditunjukkan  oleh  kemampuan berpikir  melainkan  oleh  kemampuan  berbahasa.  Manusia tidak  pernah  dapat  berpikir tanpa  bahasa.  Melalui  bahasa  manusia  dapat  mengembangkan  pengetahuan  dan mewariskannya  pada  generasi  berikutnya.  Dalam  konteks  Indonesiaan  yang  serba menunjukkan  keanekaragaman,  kebinekaan  dalam  berbagai  hal  eksisitensi  bahasa Indonesia di antara keragaman  bahasa dan  budaya daerah di Indonesia menjadi topik  penting di dalam persoalan asimilasi dan integrasi budaya. 
Bila  dikaitkan  dengan  pendidikan  di  Indonesia,  bahasa  Indonesia  memiliki peranan  sentral  dalam  perkembangan  intelektual,  sosial,  dan  emosional  peserta  didik dan  merupakan  penunjang  keberhasilan  dalam  mempelajari  semua  bidang  studi,  di samping  bahasa  daerah  yang  peranannya  tidak  dapat  diabaikan.  Pengajar  bahasa Indonesia sudah selayaknya menyadari benar akan pentingnya aspek budaya dan bahasa daerah serta bahasa sebagai alat berpikir, pengajaran bahasa Indonesia diarahkan pula pada  pengembangan  berpikir.  Pembelajaran  berbasis  teks  selalu  mempertimbangkan persoalan  konteks,    baik  konteks  sistuasi  maupun  konteks  budaya.  Teks  serbagai realiasasi  atau  wujud  perilaku  verbal  manusia  selalu  dilatarbelakangi  oleh  konteks, yaitu konteks situasi dan konteks budaya. 



DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, Ch. 2003. “Pemertahanan Bahasa Ibu: Kasus Bahasa Sunda” dalam
      www.bahasa-sastra.web.id./chaedar.esp.
Chair, A. 1994. Linguistik Umum .Jakarta: Rineka Cipta.
Hakuta, K. 1986. Mirro of Language. New York: basic Books, Inc., Publishers. 
Kartomihardjo, S. 1996. “Pemahaman Wacana antarbudaya,” Makalah disampaikan
      dalam  Pellba 10. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.
Kawulusan, H.E.  (1998). “Bahasa Politik dalam Bahasa Indonesia”, Makalah disajikan
      dalam  Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta: Depdikbud.
Koentjaraningrat. 1992.  Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan . Jakarta: Gramedia
      Pustaka Utama. 
Mahsun. 2013. ”Pembelajaran Teks dalam Kurikulum 13” , Media Indonesia, 17 April
      2013. Jakarta: Media Indonesia. 
Moeliono, A.M. 1998.  “Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia dalam Era
     Globalisasi”, Makalah disajikan dalam Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta:
     Depdikbud.
Popenoe, D. 1983.  Sociology. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, Inc.
Samsuri. 1985. Tata Kalimat Bahasa Indonesia.Jakarta: PT Sastra Hudaya.
Tilaar, H.A.R. 2000. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia .
     Bandung: Remaja Rosdakarya.
Wardhaugh, R. 1992. An Introduction to Sociolinguistics (Second Edition). Oxford : 
     Blackwell Publishers.
Yule, G. 1990. The Study of Language. Cambridge: Cambridge University Press.