expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Kamis, 07 Juli 2016

Bahasa: Aturan Dan Kesepakatan



MAKALAH

BAHASA : ATURAN DAN KESEPAKATAN
OLEH
MOH. FATAH YASIN


            Makna, sebagai penghubung bahasa dengan dunia luar, sesuai dengan kesepakatan para pemakainya sehingga dapat saling dimengerti, dalam keseluruhannya memiliki tiga tingkat keberadaan. Pada tingkat pertama, makna menjadi isi abstraksi dalam kegiatan bernalar secara logis sehingga membuahkan proposisi yang benar. Tingkat kedua, makna menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan. Pada tingkat ketiga, makna menjadi isi komunikasi yang mampu membuahkan informasi tertentu (Aminuddin, 1985:5).
            Suatu bahasa mengandung klasifikasi pengalaman implicit. Sistem bahasa itu secara beberapadalam realitas. Oleh karena itu, bahasa tidak akan membuat penuturnya buta terhadap fakta-fakta nyata dunia, tetapi malah mengisyaratkan adanya hubungan-hubungan. Untuk menjelaskan bahwa bahasa merupakan aturan dan kesepakatan di bawah ini dikemukakan beberapa kajian.

Struktur Semantik
            Yang dimaksud dengan struktur semantic adalah bagaimana suatu bahasa mengkodifikasi suatu fenomena. Struktur semantic juga sering disebut lexical store. Sebagai contoh, dalam bahasa Madura nambara’ (musim penghujan) dan nimur (musim kemarau) tidak selalu bersinonim dengan musim penghujan dan musim kemarau secara universal. Dalam bahasa Madura nambara’ berarti datang dari arah barat pulau Madura dan nimur berarti darangnya dariu arah timur pulau Madura. Dengan kata lain, masyarakat Madura memahami bahwa datangnya musim penghujan selalu diawali dari arah barat pulau Madura yaitu Bangkalan, sedang datangnya musim kemarau selalu diawali dari arah timur pulau Madura yaitu Sumenep. Oleh karena itu, referensi nambara’ dan nimur bagi masyarakat Madura berimplikasi pada cara bercocok tanam. Bagi masyarakat yang ingin bercocok tanam padi dan peternak ikan sebaiknya dilakukan di daerah barat pulau Madura, sedang yang ingin bercocok tanam tembakau dan petani garam sebaiknya dilakukan di daerah timur pulau Madura.
            Perbedaan-perbedaan klasifikasi fenomena dunia/lingkungan pada kelompok-kelompok masyarakat itu tidak saja menandai perbedaan bahasa-bahasa mereka, tetapi juga perbedaan kehidupan dan pandangan mereka. Berdasarkan contoh tersebut dapat dikatakan bahwa orang  Madura memiliki visi tersendiri terhadap fenomena alam.

Struktur Gramatikal
            Kekhasan struktur gramatikal suatu bahasa biasanya parallel dengan keunikan cara penutur bahasa itu dalam melihat dan memikirkan tentang atau bereaksi terhadap lingkungannya. Sebagai contoh bahasa Cina tidak memiliki konsep jamak dan tunggal, dan juga tidak terdapat klausa relative. Keunikan cirri gramatikal terlihat pula dalam bahasa Hopi. Bahasa ini tidak memiliki system kala dan klasifikasi peristiwa-peristiwa menurut kategori waktu. Mereka menganggap lebih penting membedakan antara lama peristiwa dan kepastian peristiwa daripada kapan peristiwa itu terjadi (Allen dan Corder, 1983, Sampson, 1980)

Pragmatik
Komponen pragmatic  mencakup penutur suatu bahasa beserta konteks sosiokulturalnya. Aspek sosiokultural memegang peranan yang amat krusial dalam proses komunikasi, suatu aspek yang masih merupakan bagian dari “the egocentric self” dalam proses transaksional (Brown, 1987:122),
            Inti aspek sosiokultural adalah budaya (Larsen dan Smalley, 1982:39). Dengan demikian, budaya menentukan konteks perilaku kognitif dan afektif bagi setiap orang, suatu pola bagi eksistensi personal dan social. Akan tetapi, manusia cenderung melihat realitas dalam konteks budayanya sendiri. Hal ini merupakan realitas yang diciptakan dan tidak mesti merupakan realitas objektif. Dunia yang bermakna tempat setiap manusia hidup bukanlah realitas universal, tetapi merupakan suatu kategori realitas yang terdiri dari tataan cirri-ciri penanda secara selektif yang dipandang penting oleh masyarakat tempat ia hidup (Brown, 1987:142).

Semantik
            Psikolinguis beranggapan bahwa bahasa tidak lebih dari suatu alat untuk pertukaran pengetahuan antara penutur dan pendengar. Dalam prose situ, makna kata bergantung pada system konseptual penutur dan pendengar dan konteks di mana kata/ujaran itu diujarkan.
            Suatu ujaran mengandung suatu pesan. Pesan itu ditentukan oleh pengetahuan penutur dan situasi kontekstual di mana ujaran itu diujarkan. Oleh karena itu, makna dibangun dengan ujaran-ujaran linguistic oleh pasangan penutur-pendengar dalam konteks pragmatic tertentu (Palermo dan Bourne, 1984).
Penutup
            Berdasarkan uraian di atas, tampaknya terdapat tiga dimensi yang menjadi tumpuan teori-teori di atas, yaitu bahasa, budaya dan pikiran, dengan visi dunia sebagai titik tolaknya. Budaya, bahasa, dan pikiran saling terkait dengan visi dunia sebagai unsur dasarnya. Budaya (dengan visi dunia sebagai referent) merupakan bagian integral dari interaksi antara bahasa dan pikiran. Pola-pola budaya, adat-istiadat, dan pola hisup terekspresikan dalam bahasa, serta visi dunia yang culture specific tercermin dalam bahasa (Brown, 1987)
            Bila antara budaya dan bahasa dipertanyakan apakah bahasa ataukap budaya yang lebih dahulu, maka pertanyaan itu tidak dapat dijawab hitam putih. Sejauh ini, penjelasan terhadap pertanyaan itu adalah bahwa keduanya tumbuh dan berkembang secara bersama-sama, saling mempengaruhi. Walaupun demikian, apabila budaya dan bahasa dipisahkan , Whorf berkata bahwa bahasalah yang jauh lebih mapan, lebih sistematik dan lebih kokoh (Sampson, 1980:22).
            Perlu dicatat bahwa perbedaan bahasa terjadi lebih banyak disebabkan oleh perbedaan visi dunia. Oleh karena itu, untuk mengatasi kesenjangan komunikasi lintas budaya, harus terdapat asumsi bahwa setiap individu adalah culturally sensitive. Artinya, yang bersangkutan harus mengakui bahwa orang lain adalah juga produk budaya, seperti dirinya, yang didasari oleh perbedaan visi dunia (Seelye, 1987:28). Berdasarkan anggapan ini, setiap orang yang berkomunikasi akan menerima dan memahami bahasa yang mereka gunakan. Oleh karena itu, setiap individu yang ingin berkomunikasi harus menetapkan aturan dan kesepakatan referensi, gramatikal, dan semantic bahasanya.
            Secara gamblang, Robinson (1988) menawarkan bahwa kesenjangan komuniukasi dapat dijembatani dengan pengeathauan tentang aturan dan kesepakatan pada kedua patner wicara, yaitu aturan dan kesepakatan tentang perbedaan asumsi-asumsu cultural, acuan dan makna, sistem gramatikal, pragmatik dan lain sebagainya.


Daftar Pustaka
Allen,J.P.B. and Corder, S.P. 1983. Reading for Applied Linguistics. London:Oxford University
Press.

Aminuddin, 1985. Semantik Pengantar Studi tentang Makna. Malang:FPBS IKIP Malang

Brown, H.D. 1987. Principles of Language Learning ang Teaching. Englewood Cliffs, New
Jersey:Prentice-Hall, Inc.

Palermo,D.S and Lyle E. Bourne, Jr. 1984. Psychology of Language. Glenview Scoot:Forresman
and Company.

Robinson G.L.N. 1987. Crosscultural Understanding. New York:Prentice-Hall,Inc.

Seelye, H. 1987. Teaching Culture:Strategies for Intercultural Communication. Lincolnwood:
National Textbook Company.

Sampson, G. 1980. School of Language: Competition and Evolution. London:Hutchinson