ARTIKEL
MENGGAGAS PARADIGMA BARU
PEMBERANTASAN BUTA AKSARA
DI KOTA BARU KALIMANTAN SELATAN
OLEH
MOH. FATAH YASIN
BUKU
Buku adalah pengusung
peradaban.
tanpa buku sejarah
diam, sastra bungkam
sains lumpuh,
pemikiran macet.
buku adalah mesin
perubahan,
jendela dunia,
“mercu suar” seperti
kata seorang penyair,
“yang dipancang di
samudera waktu.”
Buku adalah jendela.
sukma kita melihat
dunia luar lewat jendela ini.
rumah tanpa buku
bagaikan ruangan tak berjendela.
Buku adalah benda
luar biasa.
seperti permadani
terbang
yang sanggup
melayangkan kita
ke negeri-negeri tak
dikenal sebelumnya.
Buku harus menjadi
kampak
untuk menghancurkan
lautan beku di dalam diri kita
Tanpa buku Tuhan
diam,
keadilan terbenam,
sains alam macet,
filsafat pincang,
sastra bisu,
seluruhnya dirundung
kegelapan.
Buku itu cermin.
kalau keledai
bercermin di situ, tak akan muncul wajah ulama
Mengapa Orang
Indonesia (sedikit, sangat sedikit, luar biasa sedikit) Membaca Buku?
Mengapa di gerbong kereta api
Jakarta – Surabaya para penumpang tidak membaca novel, tapi menguap dan tidur
miring? Mengapa di bus Pekanbaru-Bukittinggi penumpang tidak membaca kumpulan
cerpen, tapi mengisap rokok? Mengapa di halaman kampus yang berpohon rindang
mahasiswa tidak membaca buku teks kuliahnya tapi main domino? Mengapa di ruang
tungu dokter di Banjarmasin pengantar pasien tidak membaca majalah/koran tapi
asyik main SMS? Ada 4 sampai 5 teori kuno yang coba menjelaskan sebab
defisiensi budaya yang sudah luar biasa parah ini, dan sudah berlangsung lama,
tapi saya jemu dan tidak akan mengulanginya.
Etiologi dari epidemi ini, sebab
utama dari penyakit kronis ini terletak sejak dari hulu sampai hilir aliran
sungai lembaga pendidikan kita, yaitu terlantarnya kewajiban membaca buku di
sekolah-sekolah kita.
Saya bertanya pada wisudawan atau
yang hadir pada saat ini, sebagai tamatan SMA Indonesia, mari kita ingat-ingat
berapa buku yang wajib dibaca selama 3 tahun di sekolah kita dulu (yang
disediakan di perpustakaan, dibaca tamat, kita menulis mengenainya, dan lalu
diujikan?). Jawabannya nol buku.
Tragedi nol buku ini hampir tidak
masuk akal bila kita mendapatkan fakta bahwa siswa SMA zaman Belanda dulu
(menurut ayah saya almarhum) wajib membaca 25 buku sastra dalam waktu tiga
tahun. Tragedi nol buku ini menurut pengamatan saya (berdasarkan sejarah
politik negeri ini) berlangsung pada awal 1950. Ketika seluruh aparat
pemerintahan sudah sepenuhnya di tangan sendiri, demi mengejar ketertinggalan
sebagai bekas negara jajahan, yang harus membangun jalan raya, bangunan, rumah
sakit, jembatan, pertanian, perkebunan, kesehatan, perekonomian, maka yang
diunggulkan dan disanjung adalah jurusan eksakta (teknik, kedokteran,
pertanian, farmasi), ekonomi dan hukum. Pada waktu itu, wajib baca 25 buku
sastra digunting habis, karena dipandang tidak perlu. Langkah ini menurut hemat
saya merupakan kesalahan peradaban luar
biasa besar.
Kewajiban baca 25 buku itu tidak
bertujuan agar siswa jadi sastrawan. Tidak! Sastra cuma medium tempat lewat.
Sastra mengasah dan menumbuhkan budaya baca buku secara umum. Sastra menanamkan
rasa ketagihan membaca buku, yang berlangsung sampai siswa jadi dewasa
Tragedi nol buku ini telah
berlangsung lama dan kini dengan mudah kita dapat melihat akibatnya. Tamatan
SMA nol buku sejak 1950 ; mereka inilah yang kini jadi warga negara Indonesia
terpelajar serta memegang posisi menentukan arah negara dan bangsa hari ini,
dengan rentang umur 35 – 70 tahun.
Tentulah etiologi penyakit budaya
ini mesti disembuhkan. Kita perbaiki bersama pengajaran membaca dan menulis di
sekolah-sekolah kita, sejak SD, SMP, dan SMA. Komponen luar biasa penting dalam
ikhtisar perbaikan ini adalah perpustakaan.
Latar Belakang Perlunya
Pemberantasan Buta Aksara di Provinsi Kalimantan Selatan
Peningkatan kualitas sumber daya
manusia merupakan langkah strategis untuk meningkatkan martabat dan
kesejahteraan masyarakat. Peningkatan ini harus segera dilakukan mengingat
Indonesia sampai saat ini dalam indeks pengembangan sumber daya manusia masih
berada pada urutan bawah di negara-negara asia.
Kondisi sumber daya manusia yang
masih tergolong rendah tersebut juga nampak di Kalimantan Selatan umumnya dan
Kota Baru khususnya. Hal tersebut tergambar dari salah satu faktor dalam indeks
pengembangan sumber daya manusia yaitu buta huruf/ aksara yang masih besar.
Berdasarkan data sementara tercatat 44.424 orang di Kalimantan Selatan masih
mengalami buta aksara. Kota Baru mendapat peringkat tiga besar dalam
mengumpulkan penduduk buta aksara di Kalimantan Selatan, yaitu sebanyak 5.331
orang (lihat Banjarmasin Pos, Sabtu, 18 Maret 2006).
Masih besarnya masyarakat penyandang
buta aksara ini sangat tidak menguntungkan bagi mereka dalam berbagai aspek
kehidupan, khususnya dalam menyerap berbagai informasi, pengetahuan, bahkan
dalam aktivitas kehidupan yang sangat sederhana (misalnya buat kwitansi,
membaca surat, dll). Hal tersebut tentu berakibat mereka tidak dapat mengikuti
berbagai perkembangan teknologi seperti pertanian, perkebunan, sosial dll.
Apabila kondisi ini terus terjadi, maka mereka terus menjadi orang yang
tertinggal dalam memperoleh peningkatan kesejahteraan.
Penuntasan buta aksara tidak dapat
hanya dilakukan dengan memberikan kemampuan baca tulis dan hitung saja, tetapi
juga diperlukan program pembinaan kepada semua warga agar mereka terus dan
dapat mempertahankan kemampuan baca tulisnya
secara baik. Hal yang sering terjadi dan menjadi kendala dalam
penuntasan buta aksara adalah kembalinya masyarakat yang sudah bisa baca tulis
hitung menjadi buta aksara lagi. Hal ini menurut hemat saya diakibatkan tidak
adanya pembinaan secara terus menerus dan terprogram dalam membina dan mengasah
kemampuan dan minat baca mereka. Oleh karena itu, untuk menghindari berulangnya
kembali buta aksara anggota masyarakat, maka program penuntasan harus diiringi dan
sejalan dengan program pembinaannya secara berkelanjutan.
Berdasarkan kondisi tersebut di
atas, diperluan berbagai program peningkatan kemampuan membaca dan penuntasan
buta aksara secara intensif, terprogram, terpadu, dan komprehensif.
Renungan dalam
Menggagas Paradigma Baru Pemberantasan Buta Aksara di Kota Baru
Pertama:
Pada suatu ketika, beberapa bulan
yang lalu ada artikel di koran yang membahas efek rumah kaca. Namun, dari jalan
cerita di dalam tulisan itu dapat disimpulkan bahwa penulisnya mempunyai
pengertian yang lain tentang rumah kaca. Yang dimaksudkan olehnya bukan apa
yang disebut dalam ilmu lingkungan sebagai greenhouse effect, melainkan
pengaruh pemanasan lingkungan di kota Jakarta yang menurutnya terjadi karena
sudah banyak gedung pencakar langit yang secara menyeluruh berdinding kaca.
Kalau artikel semacam itu sampai
lolos dari tangan redaksi, bukan saja penulisnya melainkan redaksi koran itu
juga sudah sempit menafsirkan apa itu yang disebut efek rumah kaca. Jika
demikian sempitnya pengetahuan bangsa kita, tidak mustahil akan ada tokoh
bangsa kita yang tidak dapat membedakan antara “internet” dan :”eternit” atau
bertanya-tanya mengapa hanya penyanyi Solo saja tetapi tidak pernah ada
penyanyi Kota Baru yang disebut-sebut oleh kritikus seni suara (Coba andaikan
pendangan ini diterapkan pada buta aksara).
Kedua:
Seorang anak makan kerupuk udang
yang baru saja digoreng. Ketika dilekatkan ke bibirnya, kerupuk itu melekat.
Keesokan harinya, masih ada tersisa sebuah kerupuk di atas piring. Kerupuk itu
dimakannya lagi. Anehnya, kerupuk itu tidak lagi melekat di bibirnya. Ia
bertanya-tanya, mengapa kedua hal yang bertentangan itu terjadi?
Di waktu lain, bapaknya secara tidak
sengaja menjatuhkan abu rokok di atas meja. Ibunya menjilat telunjuk dan
menempelkan telunjuknya yang basah ke abu rokok. Abu rokok itu melekat secara
utuh di ujung jari ibunya. Keesokan harinya, tampak oleh anak itu ada lagi abu
rokok di atas meja. Ia mencoba meniru apa yang dilakukan ibunya. Hasilnya, abu
rokok itu hancur tercerai berai.
Kalau anak itu sudah mendapatkan
pelajaran fisika tentang kapilaritas dan higroskopi, ia seharusnya dapat
menerangkan persamaan dan perbedaan antara dua macam gejala mengenai kerupuk
dan dua gejala mengenai abu rokok itu. Ia juga seharusnya dapat menjelaskan
bahwa peristiwa mengenai kerupuk dan abu rokok itu dapat dijelaskan dengan
menggunakan konsep fisika yang sama. Namun jarang sekali siswa yang dapat
menjelaskan gejala ini dengan menggunakan pengetahuan fisika, walaupun mereka
sudah mempelajari sifat-sifat kapilar dan higrokopisitas. Bahkan sang guru
sendiri pun, jika ditanya oleh anak itu, mungkin sekali akan terkejut dan tidak
dapat menjawab pertanyaan muridnya itu. Besar kemungkinannya, ia malah menjadi
uring-uringan dan marah-marah. Dan itulah salah satu sebab bahwa murid di
Indonesia tidak mau bertanya karena tidak berani. Maka tidak mengherankan kalau
remaja Indonesia kehilangan kreativitasnya.
Ketiga:
Kejadian berikut terjadi di Malang.
Seorang rekan saya mengundang wakil-wakil murid dari semua sekolah di Malang
untuk mendengarkan ceramah tentang sains dan matematika. Juga diundang guru
pendamping serta tokoh-tokoh penyelenggara bimbingan tes. Setelah rangkaian
ceramah usai, kepada para siswa itu disediakan
waktu untuk bertanya tentang apa saja yang berhubungan dengan sains dan
matematika.
Seorang murid SD dari suatu desa
(Balai Kambang) mengajukan pertanyaan sebagai berikut: “Kalau saya seorang
astronot dan membawa kipas ke ruang angkasa, kemudian di ruang angkasa itu saya
ke luar dan mengipas-ngipaskan kipas itu, apakah terjadi angin? Pertanyaan itu
disusul oleh pertanyaan lain. Kali ini oleh seorang murid SMP, pertanyaannya
ialah “Kalau saya nyalakan lilin, nyalanya menuju ke atas. Akan tetapi, kalau
lilin itu saya balik sumbunya ke bawah, mengapa nyalanya tidak mengarah ke
bawah melainkan ke atas juga sehingga melelehkan ujung lilin itu lebih cepat?
Sebagai moderator, rekan saya itu
mempersilakan guru sains dan matematika dan penyelenggara bimbingan tes yang
hadir untuk menjawab kedua pertanyaan itu. Hanya sunyi senyap yang terjadi,
yang kemudian diikuti gelak para murid. Tidak seorangpun dari guru itu sanggup
menjawab. Itulah sebabnya agaknya mengapa siswa tidak dirangsang guru agar
bertanya, dan bertanya-tanya. Guru tidak siap menjawab pertanyaan muridnya.
Pepatah melayu “malu bertanya, sesat di jalan” yang merupakan kearifan nenek
moyang kita sudah tidak berlaku lagi di Indonesia. Demikian pula, para pelatih
bimbingan tes tidak dapat menjawab karena mereka tidak biasa menjawab
pertanyaan. Yang sehari-hari dilakukannya adalah menunjukkan kiat memilih
jawaban pertanyaan yang tepat dari lima jawaban yang tersedia (monoton)—coba
aplikasikan pada tutor SKB
Dengan cara itu, perguruan tinggi
telah banyak sekali menjaring mahasiswa yang sebenarnya tidak memenuhi syarat
untuk menjadi mahasiswa. Tentu saja kalau yang dimaksudkan dengan mahasiswa
ialah calon ilmuwan atau teknologiwan yang mampu menggunakan akal dan nalarnya.
Kalau yang dimaksud dengan mahasiswa ialah mereka yang akan berhasil mendapat
ijazah sarjana, memang bimbingan tes itu sangat bermanfaat, asal saja perguruan
tinggi itu hanya merupakan suatu kilang ijazah atau diploma mill.
Pentingnya Melek Huruf
Salah satu kunci dasar kemajuan
masyarakat adalah penemuan tulisan sebagai alat komunikasi. Dengan tulisan
peristiwa bersejarah dapat diungkapkan, pengetahuan dapat disebarluaskan dengan
cepat.
Selain tulisan, hal penting lain
yang terkait adalah penemuan angka. Ada perbedaan kualitas antara masyarakat
sebelum melek huruf dan masyarakat melek huruf dalam hal mobilitas SDM melalui
komunikasi yang lebih efektif dan efisien, bentuk organisasi sosial yang lebih
kompleks, dan kemampuan menciptakan dan memanfaatkan teknologi yang lebih
tinggi.
Menurut Bowman dan Anderson (1973)
tingkat melek huruf sekitar 40 persen dari total populasi tidak cukup untuk
mengupayakan pengembangan ekonomi. Lebih lanjut dikatakan bahwa industrialisasi
dan ekspansi ekonomi yang cepat akan terjadi bila penduduk yang melek huruf
berkisar antara 70 sampai dengan 80 persen dari jumlah populasi..
Melek Huruf Harus Di Dampingi Melek Angka
Dalan kehidupan keseharian kita yang
dipentingkan bukan hanya melek huruf melainkan juga melek angka. Hal ini dapat
diambil teladannya dari peristiwa pertandingan adu kuat menenggak minuman
penguat yang sering diiklankan di televisi menghasilkan tenaga yang “ruarr
biasa”! Pernah terjadi beberapa mahasiswa bertanding adu kuat minum minuman
penyegar. Padahal di label botol tercantum bahwa setiap isi botol mengandung 50
mg kafein! Minum tiga botol berarti menenggak
150 mg kafein dan minum lima botol setara dengan minum 250 mg kafein.
Kalau mau pakai bernalar berdasar kemampuan melek angka, hal itu harus
disetarakan dengan berapa cangkir kopi pahit yang telah ditenggak dalam waktu
seketika? Namun, bila ditinjau dari melek huruf, maka mahasiswa yang paling
banyak meminum minuman penyegar adalah mahasiswa yang paling kuat, karena yang
diminum adalah minuman penguat.
Paradigma Baru Memberantas Buta Aksara
Kristalisasi teks dan konteks
pemberantasan buta aksara antara lain terwujud dalam kontekstualisasinya yang
dapat diringkas ke dalam dua pokok berikut, yaitu (1) partisipasi masyarakat
dan upaya-upaya sendiri untuk meningkatkan taraf kehidupannya berdasarkan
inisiatif sendiri; dan (2) kesiapan dukungan-dukungan teknis dan pelayanan
lainnya sehingga inisiatif, keswadayaan, dan kesukarelaan masyarakat menjadi
semakin efektif.
Kontekstualisasinya menjadi
berbeda-beda dari suatu daerah ke daerah lain berdasarkan atas kepentingan politik
daerah (otonomi daerah). Ada daerah yang memaknai pemberantasan buta aksara
sebagai penyuluhan (extension), ada juga sebagai pembinaan masyarakat (mass
education), pembinaan basis (fundamental education), pengembangan
pedesaan (rural development). Konteksnya memang berbeda, tetapi yang
terkandung di dalamnya secara umum ada empat hal, yaitu (1) konsep keswadayaan,
(2) inisiatif harus selalu datang dari masyarakat, (3) ada agen perubahan entah
dilakukan oleh pemimpin setempat, LSM, ataupun lembaga lain “SKB”, dan (4) ada
pemanfaatan dan pendekatan-pendekatan teknis berbasis pada potensi lokal.
Dari berbagai kontekstualisasi di
atas, berkembanglah konseptualisasi yang terfokus pada pengembangan masyarakat
yang di satu pihak dilihat sebagai proses atau serial aktivitas, dan di lain
pihak pengembangan masyarakat dilihat sebagai status berkembangnya suatu
masyarakat. Yang disebut pertama (proses) menekankan pentingnya perubahan
status (dari buta aksara menjadi melek aksara), sedang yang kedua (status) menekankan
bahwa pengembangan masyarakat itu bagaikan terminal, yaitu tempat pemberhentian
yang menggambarkan suatu kemajuan tertentu. Dari dua konsep ini saya
memunculkan empat konsep untuk memberantas buta aksara, yaitu konsep proses,
metode, program dan gerakan.
Konsep proses memaknai bahwa
pengembangan masyarakat adalah suatu
perubahan dari satu status/keadaan yang
lebih rendah ke status di atasnya atau dari satu tahap ke tahap yang lebih
atas. Contohnya, perubahan yang terjadi pada individu yang semula buta aksara
menjadi melek aksara. Tekanan utama dari konsep proses ialah apa yang sedang
terjadi dalam individu ditinjau dari sisi aspek sosial dan psikologis (Individu
yang buta aksara). Maksudnya proses lebih menekankan pada analisa dan hipotesa
secara emik dari individu yang buta aksara..
Konsep metode menegaskan bahwa yang
terpenting adalah hasil akhir yaitu melek huruf dan bagaimana melek huruf itu
diraih dengan menggunakan metode pengembangan masyarakat. Yang terpenting dalam
konsep metode ini adalah bagaimana dan dengan metode apa hasil dapat dicapai
(lihat buku pedoman pentahapan program keaksaraan fungsional “Dinas Pendidikan
Provinsi Kalsel Sub Dinas Bina PLS”).
Konsep program menitik beratkan
perhatian pada betapa pentingnya kegiatan dan seberapa jauh pemegang kebijakan
mau berpartisipasi aktif dalam kegiatan itu. Dengan kata lain, konsep program
sangat peduli terhadap aktivitas yang sedang terjadi/ berlangsung dalam
masyarakat.
Konsep gerakan melihat betapa
pentingnya komitmen dan hubungan emosional antara masyarakat buta aksara dengan
pemegang kebijakan, termasuk tutor menuju terciptanya melek aksara di
masyarakat.
Dengan kata lain, pelaksanaan
program penuntasan buta aksara ini harus dilakukan dengan pendekatan terpadu,
artinya semua komponen yang terkait dengan peningkatan kemampuan membaca akan
terlibat dalam satu gerakan yang sama. Sedangkan pola yang dijadikan tempat
peningkatan kemampuan membaca bagi warga yang menyandang buta aksara adalah (1)
program paket kelompok belajar termasuk paket belajar kelompok usaha produktif,
(2) perpustakaan keliling, (3) taman baca desa, dan (4) kelompok-kelompok
sosial masyarakat yang disisipi pembinaan kemampuan membaca.
Berdasarkan uraian saya ini, maka
dapat saya katakan bahwa semua strategi pemberantasan buta aksara adalah baik.
Tidak ada strategi yang paling baik untuk memberantas buta aksara. Yang ada
adalah “maukah kita ini masyarakat, tutor, dan terutama pemegang kebijakan
dengan rela hati, sungguh-sungguh dan ikhlas mau memberantas buta aksara di kota
ini?”
*Program
terbatas pada materi dan terbatas pada waktu (kurikulum).
*Kehadiran tutor umumnya
karena proyek, sehingga bergantung pada buget—(honor)
*Kemauan
pemegang kebijakan umumnya mempertimbangkan posisi tawar politik (gerakan)
*Proses
pemberantasan biasanya tidak mempertimbangkan individu secara emik, namun
secara etik (bukan sebagaimana masalah yang dihadapi individu di dalam
masyarakat tetapi bagaimana seharusnya individu di dalam masyarakat)
* Sedang
penerapan metode umumnya tidak ada roh keihlasan dan kesungguhan baik dari
tutor dan pemegang kebijakan. Hasilnya adalah suatu kegamangan dan retorika
dengan motto “pemberantasan buta aksara sangat penting dalan era globalisasi
ini”.
Penutup
Dalam kesempatan penutup ini
biasanya saya menguraikan hal-hal yang seiring dengan judul orasi. Izinkan kali
ini saya menyimpang dari kebiasaan. Yang akan saya uraikan adalah hal-hal yang
menyangkut keberhasilan seseorang atau sekelompok orang.
Sejak bulan Oktober 1986 sampai
sekarang saya mengajar Bahasa Indonesia di Universitas lambung Mangkurat.
Banyak yang saya alami selama 20 tahun menjadi guru dan berkecimpung dalam
dunia pendidikan; banyak yang saya lihat di negara-negara yang saya kunjungi,
banyak yang saya peroleh dari buku, jurnal dan sebagainya. Yang saya baca. Saya
mencoba mengemukakan pikiran saya dalam kesempatan ini dengan harapan semoga
apa yang saya kemukakan ada manfaatnya bagi kita, terutama bagi adik-adik yang
sekarang ini menjadi wisudawan.
Secara garis besar saya membagi
manusia menjadi 4 kelompok:
Kelompok
1
Orang
pintar dan rajin
Kelompok
2
Orang
pintar tetapi malas
Kelompok
3
Orang
kurang pintar tetapi rajin
Kelompok
4
Orang
kurang pintar dan malas
Termasuk dalam kelompok 1 ini ialah
orang-orang seperti Edison, Newton, dsb. Edison tidak pernah berhenti untuk
mencari jalan yang lebih baik untuk melakukan sesuatu. Pada suatu ketika
sewaktu dia sedang mengerjakan percobaan mengenai baterai yang bisa menyimpan
arus listrik, dia telah mengadakan eksprimen sebanyak 8000 kali tanpa sukses.
Salas seorang asistennya bertanya, apakah bapak tidak berkecil hati dengan
kegagalan ini? Edison menjawab “ Kita telah memperoleh kemajuan yang luar
biasa; paling tidak kita tahu ada 8000 hal yang tidak sesuai dengan harapan
kita, sedang orang lain tidak tahu”.
Termasuk dalam kelompok 4 adalah
orang-orang yang kurang pintar dan tidak mau berusaha untuk bekerja dengan
rajin. Orang-orang semacam ini selamanya tidak akan maju dalam usahanya,
kecuali apabila mereka mau mengubah kebiasaan yang kurang terpuji itu. Presiden
Nixon pernah berkata:” Saya tahu bahwa saya kurang pintar dan itulah sebabnya
mengapa saya tidur pukul 12, sedangkan teman-teman saya tidur pukul 10.
Kelompok 1 dan kelompok 4 tidak
banyak jumlahnya, sedangkan kelompok 2 dan kelompok 3 banyak sekali jumlahnya,
seperti kurva normal.
Selanjutnya saya akan menyinggung
sedikit mengenai apa yang biasa kita kenal dengan istilah motivasi. Menurut
pendapat saya, motivasi itu serupa dengan istilah sehari-hari yang kita kenal
dengan niat. Sukses atau tidak suksesnya suatu usaha pada dasarnya ditentukan
oleh niat ini. Usaha apa saja tidak akan sukses, kalau niatnya rendah.
Sebaiknya usaha apa saja pada umumnya sukses kalau disertai dengan niat yang
tinggi. Memang motivasi bukan satu-satunya faktor penentu, tetapi perannya
tidak boleh dipandang remeh.
Butir berikut yang akan saya kemukakan ialah : Jangan takut gagal! Ada
tiga alasan untuk berfikir secara negatif:
(1)
Berfikir negatif itu sederhana
Orang yang berfikir negatif tidak mau repot dan selalu berusaha
menghindari tanggung jawab. Dia berkata pada dirinya; “Buat apa sulit-sulit..”
Kalau diserahi tugas orang semacam ini biasanya menghindar dengan alas an “Saya sibuk..”
(2)
Berfikir negatif itu mudah.
Saya tidak berani mengikuti TOFL, selesai. Sikap semacam ini betul-betul
mudah, tetapi orang yang demikian itu tidak akan maju dalam usahanya.
(3)
Berfikir negatif itu aman.
Orang yang berfikir negatif tidak berani mengambil resiko; dia selalu
dihantui oleh pikiran “kalau saya gagal bagaimana? Saya malu kepada keluarga,
saya malu kepada kawan-kawan.
Dari apa yang saya kemukakan dapat
ditarik kesimpulan:
a)
Kalau kita kurang pintar, maka hal ini hendaknya
dikompensasi dengan bekerja keras, yakni harus rajin,
b)
Motivasi merupakan faktor yang amat penting. Sukses
atau gagalnya suatu usaha pada dasarnya ditentukan oleh motivasi,
c)
Berfikir secara negatif memang sederhana, mudah, dan
aman, tetapi harus kita hindari apabila kita ingin maju.
DUNIA IMPIAN
Ketika duduk di
terminal , di bandar udara,
di ruang tunggu
praktek dokter, di balai desa,
kulihat
orang-orang di sekitarku duduk membaca buku,
dan aku bertanya
di negeri mana gerangan aku sekarang.
Ketika berjalan
sepanjang gang antara rak-rak panjang,
di perpustakaan
yang mengandung ratusan ribu buku,
dan cahaya
lampunya terang benderang,
kulihat anak-anak
muda dan anak-anak tua
sibuk membaca dan
menuliskan catatan,
dan aku bertanya
di negeri mana aku sekarang.
Ketika bertandang
di sebuah toko,
warna-warni produk
yang dipajang terbentang,
orang-orang memborong
itu barang
dan mereka berdiri
beraturan di depan tempat pembayaran
dan sekali lagi
aku bertanya di negeri mana aku sekarang
Terima kasih, semoga apa yang saya sampaikan kali ini
bermanfaat bagi kita semua. Amin.