expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Kamis, 13 Agustus 2015

ARTIKEL TENTANG PEMBERANTASAN BUTA AKASARA DI KOTABARU



                                                             ARTIKEL
                                      MENGGAGAS PARADIGMA BARU
PEMBERANTASAN BUTA AKSARA
DI KOTA BARU KALIMANTAN SELATAN
OLEH

                                                   MOH. FATAH YASIN




                                                              BUKU


Buku adalah pengusung peradaban.
tanpa buku sejarah diam, sastra bungkam
sains lumpuh, pemikiran macet.
buku adalah mesin perubahan,
jendela dunia,
“mercu suar” seperti kata seorang penyair,
“yang dipancang di samudera waktu.”

Buku adalah jendela.
sukma kita melihat dunia luar lewat jendela ini.
rumah tanpa buku bagaikan ruangan tak berjendela.

Buku adalah benda luar biasa.
seperti permadani terbang
yang sanggup melayangkan kita
ke negeri-negeri tak dikenal sebelumnya.

Buku harus menjadi kampak
untuk menghancurkan lautan beku di dalam diri kita

Tanpa buku Tuhan diam,
keadilan terbenam,
sains alam macet,
filsafat pincang,
sastra bisu,
seluruhnya dirundung kegelapan.

Buku itu cermin.
kalau keledai bercermin di situ, tak akan muncul wajah ulama

Mengapa Orang Indonesia (sedikit, sangat sedikit, luar biasa sedikit) Membaca Buku?
            Mengapa di gerbong kereta api Jakarta – Surabaya para penumpang tidak membaca novel, tapi menguap dan tidur miring? Mengapa di bus Pekanbaru-Bukittinggi penumpang tidak membaca kumpulan cerpen, tapi mengisap rokok? Mengapa di halaman kampus yang berpohon rindang mahasiswa tidak membaca buku teks kuliahnya tapi main domino? Mengapa di ruang tungu dokter di Banjarmasin pengantar pasien tidak membaca majalah/koran tapi asyik main SMS? Ada 4 sampai 5 teori kuno yang coba menjelaskan sebab defisiensi budaya yang sudah luar biasa parah ini, dan sudah berlangsung lama, tapi saya jemu dan tidak akan mengulanginya.
            Etiologi dari epidemi ini, sebab utama dari penyakit kronis ini terletak sejak dari hulu sampai hilir aliran sungai lembaga pendidikan kita, yaitu terlantarnya kewajiban membaca buku di sekolah-sekolah kita.
            Saya bertanya pada wisudawan atau yang hadir pada saat ini, sebagai tamatan SMA Indonesia, mari kita ingat-ingat berapa buku yang wajib dibaca selama 3 tahun di sekolah kita dulu (yang disediakan di perpustakaan, dibaca tamat, kita menulis mengenainya, dan lalu diujikan?). Jawabannya nol buku.
            Tragedi nol buku ini hampir tidak masuk akal bila kita mendapatkan fakta bahwa siswa SMA zaman Belanda dulu (menurut ayah saya almarhum) wajib membaca 25 buku sastra dalam waktu tiga tahun. Tragedi nol buku ini menurut pengamatan saya (berdasarkan sejarah politik negeri ini) berlangsung pada awal 1950. Ketika seluruh aparat pemerintahan sudah sepenuhnya di tangan sendiri, demi mengejar ketertinggalan sebagai bekas negara jajahan, yang harus membangun jalan raya, bangunan, rumah sakit, jembatan, pertanian, perkebunan, kesehatan, perekonomian, maka yang diunggulkan dan disanjung adalah jurusan eksakta (teknik, kedokteran, pertanian, farmasi), ekonomi dan hukum. Pada waktu itu, wajib baca 25 buku sastra digunting habis, karena dipandang tidak perlu. Langkah ini menurut hemat saya  merupakan kesalahan peradaban luar biasa besar.
            Kewajiban baca 25 buku itu tidak bertujuan agar siswa jadi sastrawan. Tidak! Sastra cuma medium tempat lewat. Sastra mengasah dan menumbuhkan budaya baca buku secara umum. Sastra menanamkan rasa ketagihan membaca buku, yang berlangsung sampai siswa jadi dewasa
            Tragedi nol buku ini telah berlangsung lama dan kini dengan mudah kita dapat melihat akibatnya. Tamatan SMA nol buku sejak 1950 ; mereka inilah yang kini jadi warga negara Indonesia terpelajar serta memegang posisi menentukan arah negara dan bangsa hari ini, dengan rentang umur 35 – 70 tahun.
            Tentulah etiologi penyakit budaya ini mesti disembuhkan. Kita perbaiki bersama pengajaran membaca dan menulis di sekolah-sekolah kita, sejak SD, SMP, dan SMA. Komponen luar biasa penting dalam ikhtisar perbaikan ini adalah perpustakaan.

Latar Belakang Perlunya Pemberantasan Buta Aksara di Provinsi Kalimantan Selatan
            Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan langkah strategis untuk meningkatkan martabat dan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan ini harus segera dilakukan mengingat Indonesia sampai saat ini dalam indeks pengembangan sumber daya manusia masih berada pada urutan bawah di negara-negara asia.
            Kondisi sumber daya manusia yang masih tergolong rendah tersebut juga nampak di Kalimantan Selatan umumnya dan Kota Baru khususnya. Hal tersebut tergambar dari salah satu faktor dalam indeks pengembangan sumber daya manusia yaitu buta huruf/ aksara yang masih besar. Berdasarkan data sementara tercatat 44.424 orang di Kalimantan Selatan masih mengalami buta aksara. Kota Baru mendapat peringkat tiga besar dalam mengumpulkan penduduk buta aksara di Kalimantan Selatan, yaitu sebanyak 5.331 orang (lihat Banjarmasin Pos, Sabtu, 18 Maret 2006).
            Masih besarnya masyarakat penyandang buta aksara ini sangat tidak menguntungkan bagi mereka dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya dalam menyerap berbagai informasi, pengetahuan, bahkan dalam aktivitas kehidupan yang sangat sederhana (misalnya buat kwitansi, membaca surat, dll). Hal tersebut tentu berakibat mereka tidak dapat mengikuti berbagai perkembangan teknologi seperti pertanian, perkebunan, sosial dll. Apabila kondisi ini terus terjadi, maka mereka terus menjadi orang yang tertinggal dalam memperoleh peningkatan kesejahteraan.
            Penuntasan buta aksara tidak dapat hanya dilakukan dengan memberikan kemampuan baca tulis dan hitung saja, tetapi juga diperlukan program pembinaan kepada semua warga agar mereka terus dan dapat mempertahankan kemampuan baca tulisnya  secara baik. Hal yang sering terjadi dan menjadi kendala dalam penuntasan buta aksara adalah kembalinya masyarakat yang sudah bisa baca tulis hitung menjadi buta aksara lagi. Hal ini menurut hemat saya diakibatkan tidak adanya pembinaan secara terus menerus dan terprogram dalam membina dan mengasah kemampuan dan minat baca mereka. Oleh karena itu, untuk menghindari berulangnya kembali buta aksara anggota masyarakat, maka program penuntasan harus diiringi dan sejalan dengan program pembinaannya secara berkelanjutan.
            Berdasarkan kondisi tersebut di atas, diperluan berbagai program peningkatan kemampuan membaca dan penuntasan buta aksara secara intensif, terprogram, terpadu, dan komprehensif.

Renungan dalam Menggagas Paradigma Baru Pemberantasan Buta Aksara di Kota Baru
Pertama:
            Pada suatu ketika, beberapa bulan yang lalu ada artikel di koran yang membahas efek rumah kaca. Namun, dari jalan cerita di dalam tulisan itu dapat disimpulkan bahwa penulisnya mempunyai pengertian yang lain tentang rumah kaca. Yang dimaksudkan olehnya bukan apa yang disebut dalam ilmu lingkungan sebagai greenhouse effect, melainkan pengaruh pemanasan lingkungan di kota Jakarta yang menurutnya terjadi karena sudah banyak gedung pencakar langit yang secara menyeluruh berdinding kaca.
            Kalau artikel semacam itu sampai lolos dari tangan redaksi, bukan saja penulisnya melainkan redaksi koran itu juga sudah sempit menafsirkan apa itu yang disebut efek rumah kaca. Jika demikian sempitnya pengetahuan bangsa kita, tidak mustahil akan ada tokoh bangsa kita yang tidak dapat membedakan antara “internet” dan :”eternit” atau bertanya-tanya mengapa hanya penyanyi Solo saja tetapi tidak pernah ada penyanyi Kota Baru yang disebut-sebut oleh kritikus seni suara (Coba andaikan pendangan ini diterapkan pada buta aksara).

Kedua:
            Seorang anak makan kerupuk udang yang baru saja digoreng. Ketika dilekatkan ke bibirnya, kerupuk itu melekat. Keesokan harinya, masih ada tersisa sebuah kerupuk di atas piring. Kerupuk itu dimakannya lagi. Anehnya, kerupuk itu tidak lagi melekat di bibirnya. Ia bertanya-tanya, mengapa kedua hal yang bertentangan itu terjadi?
            Di waktu lain, bapaknya secara tidak sengaja menjatuhkan abu rokok di atas meja. Ibunya menjilat telunjuk dan menempelkan telunjuknya yang basah ke abu rokok. Abu rokok itu melekat secara utuh di ujung jari ibunya. Keesokan harinya, tampak oleh anak itu ada lagi abu rokok di atas meja. Ia mencoba meniru apa yang dilakukan ibunya. Hasilnya, abu rokok itu hancur tercerai berai.
            Kalau anak itu sudah mendapatkan pelajaran fisika tentang kapilaritas dan higroskopi, ia seharusnya dapat menerangkan persamaan dan perbedaan antara dua macam gejala mengenai kerupuk dan dua gejala mengenai abu rokok itu. Ia juga seharusnya dapat menjelaskan bahwa peristiwa mengenai kerupuk dan abu rokok itu dapat dijelaskan dengan menggunakan konsep fisika yang sama. Namun jarang sekali siswa yang dapat menjelaskan gejala ini dengan menggunakan pengetahuan fisika, walaupun mereka sudah mempelajari sifat-sifat kapilar dan higrokopisitas. Bahkan sang guru sendiri pun, jika ditanya oleh anak itu, mungkin sekali akan terkejut dan tidak dapat menjawab pertanyaan muridnya itu. Besar kemungkinannya, ia malah menjadi uring-uringan dan marah-marah. Dan itulah salah satu sebab bahwa murid di Indonesia tidak mau bertanya karena tidak berani. Maka tidak mengherankan kalau remaja Indonesia kehilangan kreativitasnya.
           
Ketiga:
            Kejadian berikut terjadi di Malang. Seorang rekan saya mengundang wakil-wakil murid dari semua sekolah di Malang untuk mendengarkan ceramah tentang sains dan matematika. Juga diundang guru pendamping serta tokoh-tokoh penyelenggara bimbingan tes. Setelah rangkaian ceramah usai, kepada para siswa itu disediakan  waktu untuk bertanya tentang apa saja yang berhubungan dengan sains dan matematika.
            Seorang murid SD dari suatu desa (Balai Kambang) mengajukan pertanyaan sebagai berikut: “Kalau saya seorang astronot dan membawa kipas ke ruang angkasa, kemudian di ruang angkasa itu saya ke luar dan mengipas-ngipaskan kipas itu, apakah terjadi angin? Pertanyaan itu disusul oleh pertanyaan lain. Kali ini oleh seorang murid SMP, pertanyaannya ialah “Kalau saya nyalakan lilin, nyalanya menuju ke atas. Akan tetapi, kalau lilin itu saya balik sumbunya ke bawah, mengapa nyalanya tidak mengarah ke bawah melainkan ke atas juga sehingga melelehkan ujung lilin itu lebih cepat?
            Sebagai moderator, rekan saya itu mempersilakan guru sains dan matematika dan penyelenggara bimbingan tes yang hadir untuk menjawab kedua pertanyaan itu. Hanya sunyi senyap yang terjadi, yang kemudian diikuti gelak para murid. Tidak seorangpun dari guru itu sanggup menjawab. Itulah sebabnya agaknya mengapa siswa tidak dirangsang guru agar bertanya, dan bertanya-tanya. Guru tidak siap menjawab pertanyaan muridnya. Pepatah melayu “malu bertanya, sesat di jalan” yang merupakan kearifan nenek moyang kita sudah tidak berlaku lagi di Indonesia. Demikian pula, para pelatih bimbingan tes tidak dapat menjawab karena mereka tidak biasa menjawab pertanyaan. Yang sehari-hari dilakukannya adalah menunjukkan kiat memilih jawaban pertanyaan yang tepat dari lima jawaban yang tersedia (monoton)—coba aplikasikan pada tutor SKB
            Dengan cara itu, perguruan tinggi telah banyak sekali menjaring mahasiswa yang sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk menjadi mahasiswa. Tentu saja kalau yang dimaksudkan dengan mahasiswa ialah calon ilmuwan atau teknologiwan yang mampu menggunakan akal dan nalarnya. Kalau yang dimaksud dengan mahasiswa ialah mereka yang akan berhasil mendapat ijazah sarjana, memang bimbingan tes itu sangat bermanfaat, asal saja perguruan tinggi itu hanya merupakan suatu kilang ijazah atau diploma mill.

Pentingnya Melek Huruf

            Salah satu kunci dasar kemajuan masyarakat adalah penemuan tulisan sebagai alat komunikasi. Dengan tulisan peristiwa bersejarah dapat diungkapkan, pengetahuan dapat disebarluaskan dengan cepat.
            Selain tulisan, hal penting lain yang terkait adalah penemuan angka. Ada perbedaan kualitas antara masyarakat sebelum melek huruf dan masyarakat melek huruf dalam hal mobilitas SDM melalui komunikasi yang lebih efektif dan efisien, bentuk organisasi sosial yang lebih kompleks, dan kemampuan menciptakan dan memanfaatkan teknologi yang lebih tinggi.
            Menurut Bowman dan Anderson (1973) tingkat melek huruf sekitar 40 persen dari total populasi tidak cukup untuk mengupayakan pengembangan ekonomi. Lebih lanjut dikatakan bahwa industrialisasi dan ekspansi ekonomi yang cepat akan terjadi bila penduduk yang melek huruf berkisar antara 70 sampai dengan 80 persen dari jumlah populasi..

Melek Huruf Harus Di Dampingi Melek Angka

            Dalan kehidupan keseharian kita yang dipentingkan bukan hanya melek huruf melainkan juga melek angka. Hal ini dapat diambil teladannya dari peristiwa pertandingan adu kuat menenggak minuman penguat yang sering diiklankan di televisi menghasilkan tenaga yang “ruarr biasa”! Pernah terjadi beberapa mahasiswa bertanding adu kuat minum minuman penyegar. Padahal di label botol tercantum bahwa setiap isi botol mengandung 50 mg kafein! Minum tiga botol berarti menenggak  150 mg kafein dan minum lima botol setara dengan minum 250 mg kafein. Kalau mau pakai bernalar berdasar kemampuan melek angka, hal itu harus disetarakan dengan berapa cangkir kopi pahit yang telah ditenggak dalam waktu seketika? Namun, bila ditinjau dari melek huruf, maka mahasiswa yang paling banyak meminum minuman penyegar adalah mahasiswa yang paling kuat, karena yang diminum adalah minuman penguat.

Paradigma Baru Memberantas Buta Aksara

            Kristalisasi teks dan konteks pemberantasan buta aksara antara lain terwujud dalam kontekstualisasinya yang dapat diringkas ke dalam dua pokok berikut, yaitu (1) partisipasi masyarakat dan upaya-upaya sendiri untuk meningkatkan taraf kehidupannya berdasarkan inisiatif sendiri; dan (2) kesiapan dukungan-dukungan teknis dan pelayanan lainnya sehingga inisiatif, keswadayaan, dan kesukarelaan masyarakat menjadi semakin efektif.
            Kontekstualisasinya menjadi berbeda-beda dari suatu daerah ke daerah lain berdasarkan atas kepentingan politik daerah (otonomi daerah). Ada daerah yang memaknai pemberantasan buta aksara sebagai penyuluhan (extension), ada juga sebagai pembinaan masyarakat (mass education), pembinaan basis (fundamental education), pengembangan pedesaan (rural development). Konteksnya memang berbeda, tetapi yang terkandung di dalamnya secara umum ada empat hal, yaitu (1) konsep keswadayaan, (2) inisiatif harus selalu datang dari masyarakat, (3) ada agen perubahan entah dilakukan oleh pemimpin setempat, LSM, ataupun lembaga lain “SKB”, dan (4) ada pemanfaatan dan pendekatan-pendekatan teknis berbasis pada potensi lokal.
            Dari berbagai kontekstualisasi di atas, berkembanglah konseptualisasi yang terfokus pada pengembangan masyarakat yang di satu pihak dilihat sebagai proses atau serial aktivitas, dan di lain pihak pengembangan masyarakat dilihat sebagai status berkembangnya suatu masyarakat. Yang disebut pertama (proses) menekankan pentingnya perubahan status (dari buta aksara menjadi melek aksara), sedang yang kedua (status) menekankan bahwa pengembangan masyarakat itu bagaikan terminal, yaitu tempat pemberhentian yang menggambarkan suatu kemajuan tertentu. Dari dua konsep ini saya memunculkan empat konsep untuk memberantas buta aksara, yaitu konsep proses, metode, program dan gerakan.
            Konsep proses memaknai bahwa pengembangan masyarakat  adalah suatu perubahan  dari satu status/keadaan yang lebih rendah ke status di atasnya atau dari satu tahap ke tahap yang lebih atas. Contohnya, perubahan yang terjadi pada individu yang semula buta aksara menjadi melek aksara. Tekanan utama dari konsep proses ialah apa yang sedang terjadi dalam individu ditinjau dari sisi aspek sosial dan psikologis (Individu yang buta aksara). Maksudnya proses lebih menekankan pada analisa dan hipotesa secara emik dari individu yang buta aksara..
            Konsep metode menegaskan bahwa yang terpenting adalah hasil akhir yaitu melek huruf dan bagaimana melek huruf itu diraih dengan menggunakan metode pengembangan masyarakat. Yang terpenting dalam konsep metode ini adalah bagaimana dan dengan metode apa hasil dapat dicapai (lihat buku pedoman pentahapan program keaksaraan fungsional “Dinas Pendidikan Provinsi Kalsel Sub Dinas Bina  PLS”).
            Konsep program menitik beratkan perhatian pada betapa pentingnya kegiatan dan seberapa jauh pemegang kebijakan mau berpartisipasi aktif dalam kegiatan itu. Dengan kata lain, konsep program sangat peduli terhadap aktivitas yang sedang terjadi/ berlangsung dalam masyarakat.
            Konsep gerakan melihat betapa pentingnya komitmen dan hubungan emosional antara masyarakat buta aksara dengan pemegang kebijakan, termasuk tutor menuju terciptanya melek aksara di masyarakat.
            Dengan kata lain, pelaksanaan program penuntasan buta aksara ini harus dilakukan dengan pendekatan terpadu, artinya semua komponen yang terkait dengan peningkatan kemampuan membaca akan terlibat dalam satu gerakan yang sama. Sedangkan pola yang dijadikan tempat peningkatan kemampuan membaca bagi warga yang menyandang buta aksara adalah (1) program paket kelompok belajar termasuk paket belajar kelompok usaha produktif, (2) perpustakaan keliling, (3) taman baca desa, dan (4) kelompok-kelompok sosial masyarakat yang disisipi pembinaan kemampuan membaca.
            Berdasarkan uraian saya ini, maka dapat saya katakan bahwa semua strategi pemberantasan buta aksara adalah baik. Tidak ada strategi yang paling baik untuk memberantas buta aksara. Yang ada adalah “maukah kita ini masyarakat, tutor, dan terutama pemegang kebijakan dengan rela hati, sungguh-sungguh dan ikhlas mau memberantas buta aksara di kota ini?”
*Program terbatas pada materi dan terbatas pada waktu (kurikulum).
*Kehadiran tutor umumnya karena proyek, sehingga bergantung pada buget—(honor)
*Kemauan pemegang kebijakan umumnya mempertimbangkan posisi tawar politik (gerakan)
*Proses pemberantasan biasanya tidak mempertimbangkan individu secara emik, namun secara etik (bukan sebagaimana masalah yang dihadapi individu di dalam masyarakat tetapi bagaimana seharusnya individu di dalam masyarakat)
* Sedang penerapan metode umumnya tidak ada roh keihlasan dan kesungguhan baik dari tutor dan pemegang kebijakan. Hasilnya adalah suatu kegamangan dan retorika dengan motto “pemberantasan buta aksara sangat penting dalan era globalisasi ini”.

Penutup


            Dalam kesempatan penutup ini biasanya saya menguraikan hal-hal yang seiring dengan judul orasi. Izinkan kali ini saya menyimpang dari kebiasaan. Yang akan saya uraikan adalah hal-hal yang menyangkut keberhasilan seseorang atau sekelompok orang.
            Sejak bulan Oktober 1986 sampai sekarang saya mengajar Bahasa Indonesia di Universitas lambung Mangkurat. Banyak yang saya alami selama 20 tahun menjadi guru dan berkecimpung dalam dunia pendidikan; banyak yang saya lihat di negara-negara yang saya kunjungi, banyak yang saya peroleh dari buku, jurnal dan sebagainya. Yang saya baca. Saya mencoba mengemukakan pikiran saya dalam kesempatan ini dengan harapan semoga apa yang saya kemukakan ada manfaatnya bagi kita, terutama bagi adik-adik yang sekarang ini menjadi wisudawan.
            Secara garis besar saya membagi manusia menjadi 4 kelompok:
                        Kelompok 1
                        Orang pintar dan rajin

                        Kelompok 2
                        Orang pintar tetapi malas

                        Kelompok 3
                        Orang kurang pintar tetapi rajin

                        Kelompok 4
                        Orang kurang pintar dan malas

            Termasuk dalam kelompok 1 ini ialah orang-orang seperti Edison, Newton, dsb. Edison tidak pernah berhenti untuk mencari jalan yang lebih baik untuk melakukan sesuatu. Pada suatu ketika sewaktu dia sedang mengerjakan percobaan mengenai baterai yang bisa menyimpan arus listrik, dia telah mengadakan eksprimen sebanyak 8000 kali tanpa sukses. Salas seorang asistennya bertanya, apakah bapak tidak berkecil hati dengan kegagalan ini? Edison menjawab “ Kita telah memperoleh kemajuan yang luar biasa; paling tidak kita tahu ada 8000 hal yang tidak sesuai dengan harapan kita, sedang orang lain tidak tahu”.
            Termasuk dalam kelompok 4 adalah orang-orang yang kurang pintar dan tidak mau berusaha untuk bekerja dengan rajin. Orang-orang semacam ini selamanya tidak akan maju dalam usahanya, kecuali apabila mereka mau mengubah kebiasaan yang kurang terpuji itu. Presiden Nixon pernah berkata:” Saya tahu bahwa saya kurang pintar dan itulah sebabnya mengapa saya tidur pukul 12, sedangkan teman-teman saya tidur pukul 10.
            Kelompok 1 dan kelompok 4 tidak banyak jumlahnya, sedangkan kelompok 2 dan kelompok 3 banyak sekali jumlahnya, seperti kurva normal.
            Selanjutnya saya akan menyinggung sedikit mengenai apa yang biasa kita kenal dengan istilah motivasi. Menurut pendapat saya, motivasi itu serupa dengan istilah sehari-hari yang kita kenal dengan niat. Sukses atau tidak suksesnya suatu usaha pada dasarnya ditentukan oleh niat ini. Usaha apa saja tidak akan sukses, kalau niatnya rendah. Sebaiknya usaha apa saja pada umumnya sukses kalau disertai dengan niat yang tinggi. Memang motivasi bukan satu-satunya faktor penentu, tetapi perannya tidak boleh dipandang remeh.
Butir berikut yang akan saya kemukakan ialah : Jangan takut gagal! Ada tiga alasan untuk berfikir secara negatif:
(1)   Berfikir negatif itu sederhana
Orang yang berfikir negatif tidak mau repot dan selalu berusaha menghindari tanggung jawab. Dia berkata pada dirinya; “Buat apa sulit-sulit..” Kalau diserahi tugas orang semacam ini biasanya menghindar dengan alas an  “Saya sibuk..”
(2)   Berfikir negatif itu mudah.
Saya tidak berani mengikuti TOFL, selesai. Sikap semacam ini betul-betul mudah, tetapi orang yang demikian itu tidak akan maju dalam usahanya.
(3)   Berfikir negatif itu aman.
Orang yang berfikir negatif tidak berani mengambil resiko; dia selalu dihantui oleh pikiran “kalau saya gagal bagaimana? Saya malu kepada keluarga, saya malu kepada kawan-kawan.

            Dari apa yang saya kemukakan dapat ditarik kesimpulan:
a)      Kalau kita kurang pintar, maka hal ini hendaknya dikompensasi dengan bekerja keras, yakni harus rajin,
b)      Motivasi merupakan faktor yang amat penting. Sukses atau gagalnya suatu usaha pada dasarnya ditentukan oleh motivasi,
c)      Berfikir secara negatif memang sederhana, mudah, dan aman, tetapi harus kita hindari apabila kita ingin maju.



DUNIA IMPIAN


Ketika duduk di terminal , di bandar udara,
di ruang tunggu praktek dokter, di balai desa,
kulihat orang-orang di sekitarku duduk membaca buku,
dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang.

Ketika berjalan sepanjang gang antara rak-rak panjang,
di perpustakaan yang mengandung ratusan ribu buku,
dan cahaya lampunya terang benderang,
kulihat anak-anak muda dan anak-anak tua
sibuk membaca dan menuliskan catatan,
dan aku bertanya di negeri mana aku sekarang.

Ketika bertandang di sebuah toko,
warna-warni produk yang dipajang terbentang,
orang-orang memborong itu barang
dan mereka berdiri beraturan di depan tempat pembayaran
dan sekali lagi aku bertanya di negeri mana aku sekarang


Terima kasih, semoga apa yang saya sampaikan kali ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar