“MEANING” DALAM
PENERJEMAHAN
OLEH
MOH. FATAH YASIN
Mencermati
masalah makna dalam studi bahasa adalah kegiatan yang sangat penting karena
makna tidak dapat dilepaskan dari kegiatan berbahasa sehari-hari. Makna juga
banyak dilibatkan dalam kegiatan penerjemahan. Seorang penerjemah yang baik
harus mampu menganalisis suatu wacana atau teks untuk mendapatkan makna yang
tepat dalam tataran leksikal, frasa, kalimat, dan bahkan makna dari seluruh
wacana tersebut. Pengkajian makna dalam ilmu bahasa masuk dalam ranah semantic.
Lyons
(1979:1) mengatakan “Semantics is generally defined as the study of meaning”.
Ada beberapa teori mengenai makna yang dapat dikemukakan pada saat ini, yaitu:
1) salah
satu di antaranya adalah apa yang disebut Reference Theory. Teori milik Ogden
dan Richards ini adalah teori yang paling dikenal luas (Mackey, 1967:16). Teori
ini digambarkan dalam bentuk skema sebagai berikut.




Symbol
Bahasa
mungkin dianggap sebagai suatu aktifitas yang diacu oleh hal-hal atau pikiran
atau objeknya (A) dan mendapatkan makna linguistik dari perbuatan yang berasal
dari pikiran atau konsep (B) dan diwujudkan dalam symbol fisik (C).
Bagan di atas mungkin akan lebih jelas lagi bila digambarkan
dalam bagan bell berikut

Concept
(tree)

(tree) Accoustic
image
/tri:/
Bagan
diambil dari Bell (1991:85)
2) Teori
makna yang lain apa yang disebut Componential Analysis. Dalam analisis komponen
ini diasumsikan bahwa makna sebuah kata itu adalah jumlah dari unsure-unsur
makna (cirri semantic khusus) yang dimilikinya (Bell, 1991:88). Kehadiran
cirri-ciri khusus itu ditandai dengan tanda (+) atau (-).

Man + human
+ adult
+ male
-
woman
3) Teori
makna lainnya ialah apa yang disebut “Meaning Postulates”. Meaning postulate
ini sudah banyak dikenal orang. Teori makna ini membahas hiponim, sinonim, dan
antonym.
MEANING
Dalam studi
semantik sudah lama disadari bahwa istilah “arti” dalam bahasa Indonesia sering
membingungkan. Dalam bahasa Inggris pun terdapat padanan “arti” yang
bermacam-macam, yaitu meaning, sense, denotation, reference, information. Jika
istilah “meaning” dipadankan dengan “arti” lalu bagaimana dengan istilah lain?
Yang
dimaksud dengan “arti” di sini adalah arti lingual atau arti linguistik, yaitu
arti yang terdapat dalam bahasa yang terstrukturkan oleh dan di dalam bahasa,
dipahami secara lebih kurang sama oleh pengguna bahasa dalam suatu masyarakat
bahasa, dipakai secara umum dan wajar dalam proses berkomunikasi sehari-hari.
Pengertian arti di sini dapat dinyatakan sebagai bentuk pengetahuan yang
bersifat empirik atau pun diperoleh secara kognitif. Dengan rumusan ini,
perdebatan ihwal arti dari sudut pandang yang nonlinguistic dapat dihindari.
Secara umum
dapat dinyatakan bahwa arti (meaning) pada dasarnya adalah bentuk pengetahuan
kognitif yang terdapat di dalam bahasa, yang terdapat dan distrukturkan di
dalam dan oleh sistem bahasa, yang dipahami kurang lebih sama oleh para penutur
dalam kegiatan berkomunikasi secara umum dan wajar.
Arti
(meaning) bersifat dasar atau basic, sebagai ancar-ancar dan belum tertentu.
Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa arti itu bersifat prateoritik. Artinya
“meaning” belum tertentu atau spesifik. Arti akan bersifat spesifik manakala
dipakai untuk proses penunjukan
(reference) dalam situasi pemakaian bahasa tertentu, atau dipakai dalam tuturan
tertentu. Namun, “arti” yang demikian akan diistilahkan dengan istilah apa?
Apakah sense, designation, denotation, reference atau makna?
SENSE, DESIGNATION/DENOTATION, REFERENCE
Masalah
berikutnya yang perlu diperjelas dalam proses penerjemahan adalah perbedaan
sense (dalam hal ini saya padankan dengan istilah makna), designation/
denotation (designasi/denotasi) dan reference (referensi). Salah seorang ahli
semantic yang menekankan perlunya membedakan antara sense (makna) dan
designasi/denotasi adalah Keith Allan (1986:70). Dinyatakan bahwa sebuah
kalimat mempunyai arti (baca: makna) sebagaimana apa yang dimaksudkan untuk
arti itu di dalam tuturan tertentu. Arti
yang demikianlah yang dimaksud sense (1986:67). Menurut Allan, sense adalah
arti sebuah unit leksikal atau tuturan sebuah kalimat dalam pemakaian yang
konkret atau nyata dalam situasi tertentu. Tuturan sebuah kalimat tersebut
terikat oleh latar pembicaraan, oleh lingkungan tekstual, dan oleh dunia nyata
yang dituturkan. Sense atau makna sebuah unit leksikal itu biasanya sebagaimana
ditunjukkan di dalam sebuah kamus (1986:68). Kamus yang baik akan memerikan
makna entri yang dimuatnya berdasarkan konteks pemakaiannya. Lebih lanjut Allan
menegaskan bahwa sense sebuah kalimat itu terbentuk dari makna butir-butir
leksikal yang dipakainya plus struktur kalimat itu, plus intonasi, plus situasi
dan maksud penutur (1986:68). Sehubungan dengan itu, saya memadankan sense
dengan makna, yaitu arti sebuah butir leksikal atau sebuah tuturan kalimat
berdasarkan konteks pemakaian, situasi yang melatarinya, intonasinya. Dengan
demikian, kalau arti (sebagai padanan meaning) itu bersifat basic dan sebagai
ancar-ancar, maka makna (sense) sudah
bersifat tertentu (spesifik). Makna dikatakan bersifat spesifik karena artinya
dibatasi oleh rambu-rambu struktur, konteks pemakaian, intonasi, dan latar yang
melingkupinya (bandingkan dengan Hymes, 1968:99). Dengan alasan itu, lebih
lanjut Allan menegaskan yang dapat dialihbahasakan dalam penerjemahan adalah
maknanya (sense) (1986:71). Secara lebih
khusus, Allan mengatakan bahwa sense (makna) adalah piranti tuturan yang
bersifat emik. Sense sebuah tuturan dapat dites dengan pertanyaan “What is the
meaning of E (expression)? (1986:71).
Ketiga
konsep di atas (sense, designation/denotation, dan reference) menurut Lyons
(1995) perlu dibedakan satu sama lain . Dalam kaitan ini, tampaknya istilah
designasi dan istilah denotasi untuk sementara diberi arti yang sama.. Apa yang
dimaksud dengan denotasi di sini tampaknya serupa dengan istilah “meaning”
sebagaimana diuraikan di atas. Dalam kaitannya dengan referensi, Lyons
menyatakan sebagai berikut “…that the denotation of an expression is invariant
utterance-independent: it is part of the meaning which the expression has in
the language-system, independently of its use on particular occasions of
utterance” (1995:79). Berdasarkan rumusan di atas dapat dikatakan bahwa denotasi dari sebuah ekpresi (leksem,
kalimat, tuturan) bersifat invariant dan tidak bergantung pada tuturan.
Denotasi adalah bagian dari arti yang ditentukan oleh system bahasa, tidak
bergantung pada situasi yang khas dari sebuah tuturan. Sebaliknya reference
oleh Lyons dinyatakan”…is variable and utterance- dependent” (1995:79). Jadi
referensi berbeda dengan denotasi.
Referensi itu bervariasi (bergantung pada situasi pemakaiannya) dan
bergantung pada wujud tuturannya. Yang jelas, referensi itu adalah suatu bentuk
penunjukan dalam kegiatan berbahasa yang nyata, yang bersifat tertentu dan
bergantung pada konteks, misalnya
“kursi” dan “kursi itu” (dalam kursi itu baru) sangat berbeda. Yanag
pertama berkaitan dengan konsep denotasi, yaitu “denotes the same class of
entities in the external world” atau mengacu pada golongan entity yang sama
dari dunia eksternal atau dunia luar bahasa. Jadi, semua entity atau maujud di
sekitar kita yang dipersepsi sama sebagai kursi akan dibahasakan dengan leksem
“kursi” (atau lebih teknis KURSI). Sebaliknya, “kursi itu” termasuk
prosesferensi karena hanya menunjuk pada “kursi” tertentu yang terlibat dalam
proses penunjukan itu pada situasi konkret tertentu. Misalnya, kalau ada
penutur O1 (orang kesatu) berbicara kepada O2 (orang kedua) di dalam suatu
situasi konkret tertentu dalam tuturan “kursi itu baru” hal itu berkaitan
dengan referensi terhadap benda “kursi” yang tertentu.
Dalam
kaitannya dengan “sense”, Lyons menjelaskan bahwa sense hanya dapat diterangkan
dalam konteks “sense-relations” antara leksem yang satu dengan leksem yang
lainya, atau antara ekpresi yang satu dengan yang lainnya dalam system bahasa
yang sama. Sebagaimana telah dikenal dari de Saussure bahwa relasi itu ada yang
bersifat sintagmatik, ada yang bersifat paradigmatic. Berkaitan dengan itu,
Lyons menggunakan konsep “relasi kombinatorial” (sintagmatik) dan konsep
“relasi substitusional” (paradigmatik) untuk menentukan sense (makna) sebuah
leksem. Misalnya, untuk mengetahui leksem BARU harus dikaji kemungkinan
kemampuan berkombinasinya secara sintagmatik dengan leksem-leksem lain dalam
kemungkinan tuturan yang senyatanya berterima dan juga harus dipertimbangkan
kemungkinannya disubstitusikan dengan leksem-leksem lain seperti LAMA, USANG,
TUA dan sebagainya.
Lebih
lanjut Lyons (1995:80) menjelaskan bahwa terdapat saling ketergantungan antara
sense (makna) dan denotasi. Yang jelas sense itu berkaitan dengan relasi yang
bersifat interlexical (antarleksikal) dan intralingual, serta sepenuhnya
bergantung pada system bahasa yang bersangkutan. Sekali lagi relasi antar
leksikal itu dapat bersifat kombinatorial ataupun substitusional. Di dalam
proses berbahasa orang memanfaatkan leksem-leksem dengan denotasi tertentu.
Namun, denotasi itu masih bersifat umum dan sebagai ancar-ancar. Leksem-leksem
dengan denotasinya yang telah dikuasai sejak belajar berbahasa bersama dengan
seperangkat kaidah atau pola dalam bahasa itu secara bersama disebut la langue.
Namun, dalam realisasi penggunaan bahasa dalam situasi kongkret pengguna bahasa
berhadapan dengan sense atau makna sebuah ekspresi. Jadi dapat dikatakan
terdapat saling ketergantungan antara denotasi dan sense.
MAKNA DALAM PENERJEMAHAN
Hampir
semua teori makna yang ada pada pendahuluan makalah ini hanya membahas makna
leksikal secara teoritik, dan barangkali secara filosofis. Pembahasan semacam
itu tidak dapat diterapkan dalam praktik penerjemahan karena dalam penerjemahan
kata tidak akan berdiri sendiri. Kata dalam penerjemahan pada umumnya akan
terkait dengan kata lain atau paling tidak kata itu akan terbungkus dalam
prosodi atau dengan situasi di mana kata itu digunakan.
Penerjemahan
selalu akan melibatkan dua macam budaya yang berbeda, dengan demikian meskipun
kata itu mempunyai makna yang sama, makna kata-kata yang berasal dari budaya
yang berbeda itu jarang sekali memiliki makna yang persis sama, kecuali bila
kata-kata itu adalah kata-kata yang berhubungan dengan istilah-istilah ilmu
pengetahuan atau istilah-istilah teknologi.
Dalam ilmu
penerjemahan, makna yang dibahas adalah makna-makna yang langsung berhubungan
dengan makna yang terdapat dalam teks. Ilmu-ilmu lain sangat berpengaruh pada
makna dalam penerjemahan ini, misanya ilmu kebahasaan, ilmu sastra dan sebagainya.
MAKNA LEKSIKAL
Makna
leksikal adalah makna suatu kata seperti yang terdapat dalam kamus. Dalam
penerjemahan makna suatu kata harus dicarikan padanannya dalam BSa (bahasa
sasaran). Suatu kata dari suatu bahasa tidak akan atau jarang sekali mempunyai
suatu pandanan yang persis sama dalam bahasa lain. Keadaan ini tidak lain
disebabkan perkembangan suatu bahasa
selalu mengikuti perkembangan budaya suatu bangsa.
Dalam
hubungannya dengan makna leksikal dalam bahasa sumber (BSu) serta pencarian
padanannya dalam BSa, penulis mengelompokkannya menjadi tiga kelompok.
1) Kata-kata
dalam Bsu yang dengan sangat mudah dapat dicarikan padanannya dalam BSa,
misalnya kata-kata seperti radio, computer, book, gold, dan sebagainya. Padanan
atau terjemahan untuk kata-kata tersebut mempunyai cirri-ciri fisik dan konsep
serta fungsi yang sama atau hampir sama.
2) Kata-kata
yang termasuk dalam kelompok kedua adalah kelompok kata yang mempunyai makna
leksikal dalam BSu dan padanannya dalam BSa, tetapi makna itu sebenarnya sudah
berbeda, baik dalam cirri fisikal maupun konsepnya. Namun, kedua makna leksikal
tersebut (dalam Bsu dan BSa) masih dapat dianggap sebagai padanan, sehingga
seorang penerjemah masih dapat menggunakannya sebagai padanan dalam
penerjemahan.
Contoh: (1) rish (Ing) dan kaya
(ind)
Kedua kata tersebut dianggap
sebagai padanan meskipun criteria ‘kaya’ antara negara yang satu dengan yang
lain berbeda.
Contoh: (2) bath (Ing) dan mandi
(Ind)
Kedua kata itu dapat dianggap
sebagai padanan meskipun cara mandi antara negara yang satu dengan yang lain
sangat berbeda.
3) Kelompok ketiga adalah kelompok kata yang
sukar sekali dicarikan padanannya dalam BSa, atau bahkan untuk kata-kata
tertentu tidak dapat diterjemahkan ke dalam BSa (untranslatable (Soemarno,
1990:12). Ada dua macam untranslatabi- lity, yaitu untranslatability linguistik
dan cultural (Catford, 1965:94).
Contoh: (1) kata sampun atau
permisi (yang diucapkan oleh seorang tamu yang meninggalkan rumah yang
dikunjunginya) sulis sekali untuk dicari padanannya dalam bahasa Inggris. Hal
ini diakibatkan kebiasaan tersebut tidak ada atau agak berbeda dengan kebiasaan
yang berlaku pada bahasa sasarab (BSa).
Contoh: (2) kata pangestunipun
(jawaban orang Jawa untuk menjawab kata sugeng tindak). Coba anda cari
padanannya dalam bahasa Inggris atau Indonesia. Penulis yakin anda tidak akan
menemukannya.
Contoh
lain---- kenduri, mitoni, midodareni, tedhak siti.
MAKNA SITUASIONAL ATAU KONTEKSTUAL
Pada
dasarnya suatu kata jarang sekali berdiri sendiri. Suatu kata pada umumnya hadir
dalam kemasaan suatu kalimat bahkan sering dikemas dalam suatu satuan (unit)
yang lebih besar daripada kalimat. Hal ini mengakibatkan makna suatu kata tidak
berdiri sendiri, tetapi makna kata tersebut terletak dalam suatu konteks atau
situasi. Makna yang terdapat dalam situasi kadang-kadang berbeda sekali dengan
makna kata yang berdiri sendiri.
Hakikatnya
setiap kata dari suatu bahasa mempunyai makna sebanyak situasi atau konteks
tempat kata itu digunakan bersama-samakata-kata lain dalam kalimat. Konteks
menurut Suryawinata (1982:32) adalah hubungan antara unsure-unsur gramatikal
atau pun leksis dengan unsure-unsur situasi yang relevan. Jadi suatu kata
mempunyai makna sebanyak situasi yang menyertainya. Ujaran terikat oleh situasi
(Mc Guire, 1991:21).
Contoh: (1) Marilah kita lihat makna kata WITH dalam
kalimat-kalimat berikut:
a.
Her eyes are filled with tears = Matanya penuh dengan
air mata
b.
I have married with three children = Saya telah
menikah dan mempunyai tiga
Anak
WITH
pada kalimat 1a dapat diberi makna DENGAN, tetapi pada kalimat 1b tidak dapat
dimaknai DENGAN. WITH dalam kalimat 1b dapat diberi makna DAN MEMPUNYAI. Hal
ini menunjukkan bahwa makna suatu kata harus disesuaikan dengan situasinya.
Contoh : (2) a. My father’s car goes
very fast = Mobil ayahku berjalan sangat cepat
b. My vacation goes very fast =
Liburanku berlalu sangat cepat
Pada
kalimat 2a dan 2b, semua menggunakan kata-kata yang sama ialah GOES VERY FAST
tetapi makna kata GOES dalam kedua kalimat itu berbeda. Hal ini disebabkan
konteks kalimat yang berbeda.
MAKNA TEKSTUAL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar