WACANA
Oleh: Moh. Fatah Yasin
BAHASA SEBAGAI
WACANA
Istilah-istilah
yang membicarakan masalah bahasa sebagai wacana pada dasarnya baru. Baru dalam
arti istilah-istilah tersebut tidak dapat dirumuskan secara memadai tanpa
adanya kemajuan yang luar biasa dalam bidang linguistic modern. Jika
istilah-istilah wacana dianggap baru, tetapi sebenarnya masalah-masalah wacana
sendiri bukanlah masalah baru.
Masalah-masalah
wacana terebut telah disinggung dalam Cratylus,
Plato telah menunjukkan bahwa masalah “kebenaran” kata/nama yang berdiri
sendiri harus tetap tidak ditentukan karena menamai tidak menjelaskan kekuatan
atau fungsi berbicara. Logos bahasa memerlukan sedikit-dikitnya nama dan verba.
Jalinan dua kata itulah yang membentuk unit pertama bahasa dan pemikiran.
Kesatuan ini menuntut akan kebenaran dari kesatuan itu.
Masalah tersebut
berulang lagi dalam karya Plato yang lebih matang seperti Theaetetus dan Sophis.
Dalam karya tersebut Plato mengatakan bagaimana memahami sesuatu, karena
sesuatu itu bersifat “mungkin”.
Berbicara menurut Plato adalah selalu mengatakan sesuatu. Bertolak dari
pendapatnya itu, akhirnya Plato terpaksa menyimpulkan bahwa suatu kata dengan
sendirinya tidak benar tidak pula salah, meskipun suatu kombinasi kata-kata
bisa berarti sesuatu meskipun tidak menangkap sesuatu. Pembawa paradoks ini
adalah kalimat, bukan kata.
Paradigma di
atas ini merupakan konteks pertama tentang konsep wacana. Dalam pemikiran
tersebut ditemukan bahwa salah dan benar adalah “kecenderungan” wacana. Wacana
memerlukan dua tanda dasar yaitu kata benda dan kata kerja yang dikaitkan dalam
satu sintesis yang melampaui kata-kata. Aristoteles menyatakan hal yang sama
dalam bukunya On Interpretation. Dia
mengatakan “Nomina mempunyai makna yang dipunyai verba, di samping makna juga
indikasi waktu. Hanya konjungsinya menampilkan rantai/hubungan predikatif yang
selanjutnya disebut logos wacana. Unit sintesis inilah yang membawa tindakan
ganda pernyataan lain, dan pernyataan ini bisa benar atau salah.
Setelah masa ini
masalah wacana menjadi masalah murni (genuine) karena wacana sekarang
dipertentangkan dengan istilah yang sebaliknya yang tidak dikenal atau dianggap
sudah semestinya oleh filsuf kuno. Istilah lawan ini sekarang menjadi objek
otonom penelitian ilmiah. Istilah sebaliknya itu beranggapan bahwa kode
linguistiklah yang memberi struktur khas bagi setiap sistem linguistic, yang
orang umum mengenalnya sebagai macam-macam bahasa yang diucapkan oleh komunitas
linguistic yang berbeda. Bahasa di sini kemudian berarti sesuatu yang lain
daripada kapasitas umum untuk berbicara atau kompetensi berbicara yang umum. Ia
menunjuk pada struktur dari sistem linguistic.
Munculnya
kata-kata “struktur” dan “sistem” memunculkan
problematic yang baru dalam bidang wacana.
Munculnya kata-kata tersebut berimplikasi bahwa wacana bukan bagian dari
linguistic, karena perhatian utama linguistic adalah bahasa sebagai struktur
dan sistem dan bukan dipakai sebagai “digunakan”. Oleh karena itu, dalam
pembahasan linguistic awalnya wacana tidak didudukkan sebagai masalah genuine
linguistic, karena linguistic tidak pernah mempertimbangkan isi pesan,
maksud/tujuan penggunaan bahasa, jenis media penyampai, konteks, waktu, dan status pengguna bahasa.
LANGUE DAN PAROLE
: MODEL STRUKTURAL
Mundurnya masalah wacana dalam
studi bahasa kontemporer diakibatkan oleh terlalu kuatnya pengaruh Cours de Linguistique General dari
linguis Swiss Saussure. Karyanya bertumpu pada perbedaan fundamental antara
bahasa sebagai langue dan sebagai parole. Pendapat inilah yang membentuk
linguistic modern. Perlu diperhatikan bahwa Saussure dalam hal ini tidak bicara
“wacana” , tetapi “parole”.
Pendapat Saussure ini sebenarnya
banyak dipengaruhi oleh pendapat Durkheim. Saussure berpendapat bahwa
linguistic adalah cabang dari sosiologi. Ada beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan terhadap dikotomi penting ini jika dikaitkan dengan beberapa
perbedaan tambahan. Pesan itu individual, kodenya kolektif. Pesan dan kode
tidak termasuk waktu tidak bisa diperlakukan sama.
Pesan adalah peristiwa atemporal
dalam urutan-urutan peristiwa yang merupakan dimensi diakronis waktu, sedangkan
kode ada dalam waktu sebagai seperangkat unsure yang sewaktu, yaitu sebagai sistem
sinkronis.
Pesan itu intensional. Ia
direncanakan oleh seseorang. Kode anonim dan tidak direncanakan. Dalam hal ini
kode tidak disadari, bukan dalam arti bahwa dorongan dan impuls tidak disadari
menurut metapsikologi Frudian, tetapi dalam arti tidak disadari secara
structural nonlibidinal dan kultural.
Pesan itu arbitrer dan kontingen/tidak
pasti, sedang kode itu sistematik dan memaksa bagi masyarakat yang berbicara.
Pertentangan terakhir ini mecerminkan bahwa pendapat Saussure tentang “parole”
dan “langue” jatuh pada ranah kedekatan kode untuk penelitian ilmiah tentang
fonologis, leksikal, dan sintaksis. Parole secara ilmiah hanya membahas akustik,
fisiologi, sosiologi dan sejarah perubahan semantic, sedangkan langue adalah
objek satu ilmu deskripsi sistem sinkronis bahasa. Pendapat Saussure ini akan
menyebabkan terkurungnya “pesan” untuk
kebutuhan kode, “peristiwa” untuk kebutuhan sistem, “intensi” untuk kebutuhan
struktur, dan “kesewenang-wenangan tindakan” untuk sistematisitas kombinasi
dalam sistem sinkronis.
Berdasarkan uraian di atas dapat
ditarik beberapa postulat model structural , yaitu:
1.
Pendekatan sinkronis harus mendahului pendekatan
diakronis apa pun karena sistem lebih dapat dipahami daripada perubahan.
Perubahan itu adalah perubahan sebagian atau seluruh dalam suatu keadaan dari
suatu sistem. Oleh karena itu, sejarah perubahan harus dating setelah teori
yang mendeskripsikan keadaan sinkronis sistem itu.
2.
Kasus paradigmatic untuk pendekatan structural
adalah kasus seperangkat entitas diskrete yang terbatas. Sistem fonologi
mungkin tampak memuaskan postulat kedua ini secara langsung daripada yang
dilakukan sistem leksikal dimana kreteria keterbatasan lebih sulit diterapkan
secara konkrit.
3.
Dalam sistem tanda hanya ada perbedaan, tetapi
tidak ada eksisistensi substansial (Saussure). Postulat ini membatasi sifat
formal entitas linguistic. Formal di sini dipertentangkan dengan substansial
dalam arti eksistensi positif otonom dari entitas yang dipertaruhkan dalam
linguistic dan pada umumnya, dalam semiotic.
4.
Dalam sistem terbatas semacam itu, semua
hubungan itu imanen terhadap sistem. Dalam hal ini sistem semiotic itu tertutup
dalam arti tanpa hubungan dengan realitas`eksternal nonsemiotik. Definisi tanda
yang diberikan oleh Saussure telah menyiratkan postulat ini (tanda dan benda
bersifat permanen). Padahal semiotic sebenarnya bersifat terbuka tetapi
dibatasi oleh hubungan eksternal antara tanda dan benda.
Berdasarkan
postulat di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa bahasa dalam teori structural
tidak lagi tampak sebagai mediasi antara pikiran dan benda. Bahasa didudukkan sebagai
dunia tertutup, dimana setiap hal hanya mengacu pada hal lain dari sistem yang
sama, karena saling berpengaruh oposisi dan perbedaan yang konstitutif dari
sitem itu. Oleh karena itu, bahasa tidak lagi diperlakukan sebagai “bentuk
kehidupan” , tetapi sebagai sistem swasembada hubungan batin. Pada titik
ekstrem ini bahasa didudukkan sebagai wacana hilang.