expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Senin, 23 Februari 2015

BAHASA SEBAGAI WACANA OLEH FATAH YASIN



WACANA
Oleh: Moh. Fatah Yasin


BAHASA SEBAGAI WACANA
Istilah-istilah yang membicarakan masalah bahasa sebagai wacana pada dasarnya baru. Baru dalam arti istilah-istilah tersebut tidak dapat dirumuskan secara memadai tanpa adanya kemajuan yang luar biasa dalam bidang linguistic modern. Jika istilah-istilah wacana dianggap baru, tetapi sebenarnya masalah-masalah wacana sendiri bukanlah masalah baru.
Masalah-masalah wacana terebut telah disinggung dalam Cratylus, Plato telah menunjukkan bahwa masalah “kebenaran” kata/nama yang berdiri sendiri harus tetap tidak ditentukan karena menamai tidak menjelaskan kekuatan atau fungsi berbicara. Logos bahasa memerlukan sedikit-dikitnya nama dan verba. Jalinan dua kata itulah yang membentuk unit pertama bahasa dan pemikiran. Kesatuan ini menuntut akan kebenaran dari kesatuan itu.
Masalah tersebut berulang lagi dalam karya Plato yang lebih matang seperti Theaetetus dan Sophis. Dalam karya tersebut Plato mengatakan bagaimana memahami sesuatu, karena sesuatu itu bersifat “mungkin”.  Berbicara menurut Plato adalah selalu mengatakan sesuatu. Bertolak dari pendapatnya itu, akhirnya Plato terpaksa menyimpulkan bahwa suatu kata dengan sendirinya tidak benar tidak pula salah, meskipun suatu kombinasi kata-kata bisa berarti sesuatu meskipun tidak menangkap sesuatu. Pembawa paradoks ini adalah kalimat, bukan kata.
Paradigma di atas ini merupakan konteks pertama tentang konsep wacana. Dalam pemikiran tersebut ditemukan bahwa salah dan benar adalah “kecenderungan” wacana. Wacana memerlukan dua tanda dasar yaitu kata benda dan kata kerja yang dikaitkan dalam satu sintesis yang melampaui kata-kata. Aristoteles menyatakan hal yang sama dalam bukunya On Interpretation. Dia mengatakan “Nomina mempunyai makna yang dipunyai verba, di samping makna juga indikasi waktu. Hanya konjungsinya menampilkan rantai/hubungan predikatif yang selanjutnya disebut logos wacana. Unit sintesis inilah yang membawa tindakan ganda pernyataan lain, dan pernyataan ini bisa benar atau salah.
Setelah masa ini masalah wacana menjadi masalah murni (genuine) karena wacana sekarang dipertentangkan dengan istilah yang sebaliknya yang tidak dikenal atau dianggap sudah semestinya oleh filsuf kuno. Istilah lawan ini sekarang menjadi objek otonom penelitian ilmiah. Istilah sebaliknya itu beranggapan bahwa kode linguistiklah yang memberi struktur khas bagi setiap sistem linguistic, yang orang umum mengenalnya sebagai macam-macam bahasa yang diucapkan oleh komunitas linguistic yang berbeda. Bahasa di sini kemudian berarti sesuatu yang lain daripada kapasitas umum untuk berbicara atau kompetensi berbicara yang umum. Ia menunjuk pada struktur dari sistem linguistic.
Munculnya kata-kata “struktur” dan  “sistem” memunculkan problematic yang baru dalam bidang wacana.  Munculnya kata-kata tersebut berimplikasi bahwa wacana bukan bagian dari linguistic, karena perhatian utama linguistic adalah bahasa sebagai struktur dan sistem dan bukan dipakai sebagai “digunakan”. Oleh karena itu, dalam pembahasan linguistic awalnya wacana tidak didudukkan sebagai masalah genuine linguistic, karena linguistic tidak pernah mempertimbangkan isi pesan, maksud/tujuan penggunaan bahasa, jenis media penyampai,  konteks, waktu, dan status pengguna bahasa.


LANGUE DAN PAROLE : MODEL STRUKTURAL
                Mundurnya masalah wacana dalam studi bahasa kontemporer diakibatkan oleh terlalu kuatnya pengaruh Cours de Linguistique General dari linguis Swiss Saussure. Karyanya bertumpu pada perbedaan fundamental antara bahasa sebagai langue dan sebagai parole. Pendapat inilah yang membentuk linguistic modern. Perlu diperhatikan bahwa Saussure dalam hal ini tidak bicara “wacana” , tetapi “parole”.
                Pendapat Saussure ini sebenarnya banyak dipengaruhi oleh pendapat Durkheim. Saussure berpendapat bahwa linguistic adalah cabang dari sosiologi. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan terhadap dikotomi penting ini jika dikaitkan dengan beberapa perbedaan tambahan. Pesan itu individual, kodenya kolektif. Pesan dan kode tidak termasuk waktu tidak bisa diperlakukan sama.
                Pesan adalah peristiwa atemporal dalam urutan-urutan peristiwa yang merupakan dimensi diakronis waktu, sedangkan kode ada dalam waktu sebagai seperangkat unsure yang sewaktu, yaitu sebagai sistem sinkronis.
                Pesan itu intensional. Ia direncanakan oleh seseorang. Kode anonim dan tidak direncanakan. Dalam hal ini kode tidak disadari, bukan dalam arti bahwa dorongan dan impuls tidak disadari menurut metapsikologi Frudian, tetapi dalam arti tidak disadari secara structural nonlibidinal dan kultural.
                Pesan itu arbitrer dan kontingen/tidak pasti, sedang kode itu sistematik dan memaksa bagi masyarakat yang berbicara. Pertentangan terakhir ini mecerminkan bahwa pendapat Saussure tentang “parole” dan “langue” jatuh pada ranah kedekatan kode untuk penelitian ilmiah tentang fonologis, leksikal, dan sintaksis. Parole secara ilmiah hanya membahas akustik, fisiologi, sosiologi dan sejarah perubahan semantic, sedangkan langue adalah objek satu ilmu deskripsi sistem sinkronis bahasa. Pendapat Saussure ini akan menyebabkan terkurungnya “pesan”  untuk kebutuhan kode, “peristiwa” untuk kebutuhan sistem, “intensi” untuk kebutuhan struktur, dan “kesewenang-wenangan tindakan” untuk sistematisitas kombinasi dalam sistem sinkronis.
                Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa postulat model structural , yaitu:
1.       Pendekatan sinkronis harus mendahului pendekatan diakronis apa pun karena sistem lebih dapat dipahami daripada perubahan. Perubahan itu adalah perubahan sebagian atau seluruh dalam suatu keadaan dari suatu sistem. Oleh karena itu, sejarah perubahan harus dating setelah teori yang mendeskripsikan keadaan sinkronis sistem itu.
2.       Kasus paradigmatic untuk pendekatan structural adalah kasus seperangkat entitas diskrete yang terbatas. Sistem fonologi mungkin tampak memuaskan postulat kedua ini secara langsung daripada yang dilakukan sistem leksikal dimana kreteria keterbatasan lebih sulit diterapkan secara konkrit.
3.       Dalam sistem tanda hanya ada perbedaan, tetapi tidak ada eksisistensi substansial (Saussure). Postulat ini membatasi sifat formal entitas linguistic. Formal di sini dipertentangkan dengan substansial dalam arti eksistensi positif otonom dari entitas yang dipertaruhkan dalam linguistic dan pada umumnya, dalam semiotic.
4.       Dalam sistem terbatas semacam itu, semua hubungan itu imanen terhadap sistem. Dalam hal ini sistem semiotic itu tertutup dalam arti tanpa hubungan dengan realitas`eksternal nonsemiotik. Definisi tanda yang diberikan oleh Saussure telah menyiratkan postulat ini (tanda dan benda bersifat permanen). Padahal semiotic sebenarnya bersifat terbuka tetapi dibatasi oleh hubungan eksternal antara tanda dan benda.
Berdasarkan postulat di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa bahasa dalam teori structural tidak lagi tampak sebagai mediasi antara pikiran dan benda. Bahasa didudukkan sebagai dunia tertutup, dimana setiap hal hanya mengacu pada hal lain dari sistem yang sama, karena saling berpengaruh oposisi dan perbedaan yang konstitutif dari sitem itu. Oleh karena itu, bahasa tidak lagi diperlakukan sebagai “bentuk kehidupan” , tetapi sebagai sistem swasembada hubungan batin. Pada titik ekstrem ini bahasa didudukkan sebagai wacana hilang.

Minggu, 22 Februari 2015

SENSE DAN REFERENCE OLEH FATAH YASIN



WACANA
MAKNA SEBAGAI “SENSE” DAN “REFERENCE”
OLEH
MOH. FATAH YASIN


MAKNA SEBAGAI “SENSE” DAN “REFERENCE”
            Dalam dua pertemuan terdahulu dialektika peristiwa dan makna telah berkembang sebagai dialektika batin makna wacana. Makna adalah apa yang dilakukan pembaca/pendengar. Makna juga sesuatu yang dilakukan kalimat. Makna tuturan (dalam arti isi proposisi adalah sisi “objektif” makna ini.  Makna penutur—mempunyai arti rangkap tiga, yaitu acuan diri kalimat, dimensi ilokusioner tindak ujaran, dan intense pengakuan oleh pembaca/pendengar. Intensi pengakuan oleh pembaca/pendengar ini merupakan sisi “subjektif” makna itu.
            Dialektika subjektif-objektif ini tidak menjelaskan maknanya makna (the meaning of meaning) dan oleh sebab itu tidak menjelaskan struktur wacana. Sisi “objektif” wacana itu sendiri bisa dijelaskan melalui dua cara yang berbeda, yaitu di satu sisi boleh diartikan “apa” wacana dan “tentang apa” wacana.
            “Apa”nya wacana adalah “sense”nya dan “tentang apa” wacana adalah “reference”nya. Perbedaan antara sense dan reference diperkenalkan dalam filsafat modern oleh Gottlob Frege dalam artikelnya yang terkenal “Ueber Sinn und Bedeutung”,  yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai “On Sense and Reference” oleh Max Black dalam buku “Translations from the Philosiphical of Gottlob Frege”. Di dalam artikel ini sense dan reference dibedakan secara langsung yang dikaitkan dengan perbedaan awal yang telah kita singgung minggu yang lalu yaitu perbedaan semiotic dan semantic.
            Pada tingkat kalimat semiotic dan semantic membebaskan kita untuk membedakan yang dikatakan dan tentang apa yang ia katakan. Dalam system bahasa katakanlah sebagai leksikon, tidak ada masalah reference; tanda hanya mengacu pada tanda lain dalam system itu. Namun, jika bentuknya kalimat, maka bahasa diarahkan melampaui dirinya.
            Jika sense itu imanen terhadap wacana itu dan objektif dalam arti ideal, reference mengungkapkan gerak di mana bahasa melampaui dirinya sendiri. Dengan kata lain, sense berkorelasi dengan fungsi identifikasi dan fungsi predikatif dalam kalimat, dan reference menghubungkan bahasa dengan dunia.
            Bedasarkan uraian di atas membuktikan bahwa bahasa mempunyai acuan hanya jika ia digunakan. Kalimat yang sama bisa mempunyai sense yang sama bisa juga memiliki sense yang berbeda bergantung pada lingkungan atau situasi tindakan wacana. Mengacu adalah apa yang kalimat lakukan dalam situasi tertentu dan menurut pemakaian tertentu. Mengacu juga merupakan apa yang dilakukan pembicara ketika ia menerapkan kata-katanya dalam realitas. Seseorang mengacu pada sesuatu pada waktu tertentu adalah peristiwa (peristiwa ujaran). Peristiwa ini menerima strukturnya dari makna sebagai sense. Hal ini menunjukkan adanya dialektika peristiwa dan makna menerima suatu perkembangan baru dari dilektika sense dan reference.
            Dialektika sense dan reference ini begitu orisinal sehingga ia dapat dianggap sebagai pedoman yang bebas. Hanya dialektika ini yang mengatakan sesuatu hubungan antara bahasa dengan kondisi ontologism yang berada di dunia. Bahasa bukanlah suatu dunia sendiri. Ia bahkan bukan suatu dunia. Tetapi, karena kita berada di dunia, kita dipengaruhi oleh situasi, dan kita mengorientasikan diri kita secara komprehensif di dalam situasi itu, kita memiliki sesuatu untuk dikatakan, kita memiliki pengalaman untuk dibawa ke bahasa.
            Pengertian membawa pengalaman ke bahasa ini adalah kondisi ontologism referensi. Kondisi ontologism yang tercermin dalam bahasa sebagai postulat yang tidak memiliki pembenaran imanen. Menurut postulat itu, kita meyakini eksistensi benda-benda yang kita identifikasi. Kita meyakini bahwa sesuatu harus ada agar sesuatu itu bisa diidentifikasi. Postulat eksistensi sebagai dasar identifikasi ini adalah apa yang dimaksud Frege dengan mengatakan seseorang pengujar tidak puas dengan sense saja, tetapi ia juga meyakini reference.
            Dialektika sense dan reference ini begitu penting untuk dipahami, karena dialektika ini mempunyai postulat bahasa sama sekali tidak referensial. Dalam hal ini bahasa diragukan mempunyai makna. Selanjutnya, bagaimana kita mengetahui bahwa tanda berarti sesuatu, jika tanda itu tidak terarah kepada sesuatu yang menyebabkan tanda itu berada di dalam wacana? Akhirnya, Semiotik tampil sebagai abstraksi semantic belaka. Di sinilah definisi semiotic sebagai tanda sebagai perbedaan imanen   antara penanda dan petanda memerlukan definisi semantiknya sebagai referens ke benda yang menyebabkan benda itu berada di sana. Definisi semantic yang paling kongkrit adalah teori yang menghubungkan konstitusi sense yang imanen ke intense reference yang transenden.
            Makna universal dari masalah reference ini begitu luas sehingga makna penutur harus diungkapkan dalam bahasa acuan sebagai acuan diri wacana, yaitu sebagai penunjuk pembicaranya oleh struktur wacana itu. Wacana mengacu kembali ke pembicaranya pada saat yang sama ia mengacu ke dunia. Korelasi ini tidaklah kebetulan, karena pada akhirnya si pembicaralah yang mengacu pada dunia dalam berbicara. Wacana dalam tindakan dan dalam pemakaian mengacu ke given dan new information, ke pembicara dan ke dunia

ACUAN DIRI WACANA OLEH FATAH YASIN



WACANA
OLEH
MOH. FATAH YASIN

MAKNA PENUTUR DAN MAKNA TUTURAN
ACUAN DIRI WACANA
Konsep wacana membolehkan dua penafsiran yang mencerminkan dialektika utama antara peristiwa dan makna. Makna adalah apa yang pembicara maksud, yaitu apa yang ia rencanakan untuk dikatakan, dan apa yang kalimat maksud yang merupakan hasil konjungsi antara fungsi identifikasi dan fungsi predikatif. Makna dengan kata lain adalah sekaligus noetik dan noematik.
Kita bisa menguhubungkan acuan wacana ke pembicaranya dengan sisi dialektika peristiwa. Peristiwa adalah seseorang yang berbicara. Dalam hal ini system atau kode itu anaonim sejauh bahwa ia hanya virtual. Bahasa tidak berbicara. Orang-oranglah yang berbicara. Namun, sisi proposisional acuan diri wacana harus tidak diremehkan jika makna penutur, (meminjam istilah Grice) tidak diredusir hanya ke intense psikologis. Makna mental tidak dapat ditemukan di mana pun kecuali dalam wacana itu sendiri. Makna penutur mempunyai tandanya dalam makna tuturan.
Linguistik wacana, yang disebut semantic untuk membedakannya dari semiotic, memberikan jawabannya. Struktur batin kalimat mengacu kembali ke pembicara melalui prosedur gramatikal, yang oleh para linguis disebut “shifters”. Kata ganti orang misalnya, tidak memiliki makna objektif. “Saya” bukan konsep. Tidak mungkin mengganti “saya” dengan ekspresi universal seperti “orang yang sekarang berbicara”. Hanya fungsinya adalah mengacukan seluruh kalimat pada subjek peristiwa ujaran. Kata ganti tersebut memiliki makna baru setiap kali kata ganti tersebut digunakan dan setiap kali ia mengacu pada subjek singular. “Saya” adalah orang yang dalam berbicara menerapkan pada dirinya sendiri. Untuk memahami kata “Saya” perlu memperhatikan shifters lain yang membawa acuan gramatikal wacana lain ke pembicaranya juga, misalnya adverbial waktu, ruang dan kata penunjuk yang bisa dianggap sebagai particular egosentris. Oleh sebab itu, wacana memiliki banyak cara yang dapat menggantikan dalam mengacu kembali ke pembicaranya.
Jika kita memberikan perhatian pada sarana gramatikal mengenai acuan diri wacana ini kita memperoleh dua keuntungan. Di satu pihak kita mendapatkan criteria baru perbedaan antara wacana dank ode linguistic. Di lain pihak, kita dapat member definisi makna penutur yang nonpsikologis, karena betul-betul semantic. Tidak ada entitas mental yang perlu dihipotesiskan atau dianggap sebagai realitas. Makna tuturan menunjuk kembali ke makna penutur berkat acuan diri wacana ke dirinya sebagai peristiwa.
TINDAKAN LOKUSIONER DAN ILOKUSIONER
                Sumbangan pertama pada pendekatan semantic adalah analisis linguistic (Anglo Amerikan) “tindak ujaran” yang terkenal J.L. Austin adalah yang pertama memperhatikan bahwa “performatives”, seperti “janji” menyiratkan adanya komitmen khusus si pembicara untuk melakukan apa yang dikatakannya dalam berbicara itu. Dengan berkata “Saya berjanji”, ia betul-betul berjanji, yaitu meletakkan dirinya di bawah kewajiban melakukan apa yang dikatakannya akan dilakukan.  “Tindakan” berkata ini bisa diasimilasikan dengan kutub peristiwa pada dialektika peristiwa dan makna. Namun, “tindakan” ini juga mengikuti peraturan semantic yang ditunjukkan oleh struktur kalimat itu: verba harus menjadi verba orang pertama indikatif. Dalam hal ini suatu “grammar” khusus mendukung kekuatan performatif wacana itu. Performatives hanyalah kaus khusus dari sifat umum yang ditunjukkan oleh setiap kelompok tindak ujaran, apakah tindak ujaran itu perintah, harapan, pertanyaan, atau pengakuan, semuanya selain mengatakan sesuatu (tindakan lokusioner), melakukan sesuatu di dalam berkata (tindakan ilokusioner), dan menghasilkan akibat dengan berkata (perlokusioner).
                Tindakan ilokusioner adalah apa yang membedakan janji dengan perintah, keinginan, atau pernyataan. Kekuatan tindakan ilokusioner menghadirkan dialektika peristiwa dan makna yang sama. Dalam setiap kasus “gramar” yang khas sesuai dengan intensi tertentu dimana tindakan ilokusioner mengungkapkan kekuatan yang berbeda. Apa yang dapat diungkapkan dalam istilah psikologi seperti mempercayai, menginginkan, atau menghasratkan, ditanam dengan eksistensi semantic berkat korelasi antara sarana gramatikal ini dan tindakan ilokusuioner itu.
TINDAKAN INTERLOKUSIONER
                Sumbangan lain pada dialektika peristiwa dengan isi proposisi diberikan oleh apa yang disebut tindakan interlokusioner atau tindakan alokusioner untuk menjaga simetri dengan aspek ilokusioner tindak ujaran.
                Satu aspek penting wacana adalah bahwa ia disampaikan kepada seseorang. Ada pembicara lain yang merupakan si penerima dari wacana itu. Kehadiran pasangan pembicara dan pendengar membuat bahasa sebagai komunikasi. Namun, studi bahasa dari sudut komunikasi tidak dimulai dengan sosiologi komunikasi. Coba cermati pendapat Plato yang mengatakan dialog adalah struktur penting wacana. Bertanya dan menjawab, mempertahankan gerakan dan dinamika berbicara dan dalam satu arti keduanya tidak membentuk mode wacana yang satu di antara mode wacana lain. Setiap tindakan ilokusioner adalah sejenis pertanyaan. Menyatakan sesuatu adalah mengharapkan persetujuan, persis`seperti member perintah adalah mengharapkan kepatuhan. Bahkan solilokui---wacana soliter—adalah dialog dengan diri sendiri, atau untuk mengutip Plato sekali lagi, diaonia adalah dialog jiwa dengan dirinya.  
                Beberapa linguis berusaha merumuskan kembali semua fungsi bahasa sebagai variable dalam suatu model yang menyatakan komunikasi adalah kuncinya. Roman Jacobson, misalnya, mulai dari hubungan rangkap tiga antara pembicara, pendengar, dan pesan, kemudian menambah tiga factor pelengkap yang memperkaya modelnya. Ketiga factor pelengkap itu adalah kode, kontak, dan konteks. Atas`dasar enam system factor ini ia membangun enam skema fungsi. Pembicara sejajar dengan fungsi emotifnya, pendengar dengan fungsi konatif, pesan dengan fungsi poetic. Kode menunjuk fungsi metalinguistik, sedangkan kontak dan konteks adalah pembawa fungsi referensial dan fatik.
                Model ini menarik karena model ini dapat mencerminkan (1) mendeskripsikan wacana secara langsung dan tidak sebagai sisa bahasa, (2) mendeskripsikan struktur wacana dan tidak hanya peristiwa irrasional, dan (3) model ini tidak mengutamakan fungsi kode pada operasi komunikasi yang berhubungan.
                Untuk memahami model ini aspek baru dialektika peristiwa dan makna patut mendapat perhatian. Peristiwa bukan hanya pengalaman sebagai diungkapkan dan dikomunikasikan, tetapi juga pertukaran intersubjektifitas itu sendiri dalam peristiwa dialog. Dialog adalah peristiwa yang menghubungkan dua peristiwa, peristiwa berbicara dan peristiwa mendengar. Dalam peristiwa dialog inilah pemahaman sebagai makna homogen. Sampai di sini ada satu pertanyaan “aspek apa dari wacana itu sendiri yang dikomunikasikan secara bermakna dalam peristiwa dialog?
                Jawaban pertama jelas. Apa yang dapat dikomunikasikan pertama-tama adalah isi proposisi wacana, dan kita dibawa kembali ke criteria utama kita yaitu wacana sebagai peristiwa plus makna. Oleh karena itu, arti sebuah kalimat adalah apa yang dikatakan bukan apa yang dimaksud (pesan). Arti kalimat (yang dikatakan) dapat ditransfer dalam peristiwa yang lain, tidak demikian dengan maksud (pesan).
                Pesan memiliki dasar kemampuannya untuk dapat dikomunikasikan dalam struktur maknanya. Hal ini mengandung arti bahwa seseorang dalam berkomunikasi sebenarnya mengkomunikasikan sintesis baik fungsi identifikasi (darimana subjek logika adalah pembawanya) dan fungsi predikatif  (yang secara universal potensial). Berbicara kepada seseorang (lihat juga solilokui  dan diaonia) berarti seseorang itu menunjuk kea rah hal yang unik yang dimaksud, berkat sarana nama diri, kata penunjuk, dan deskripsi yang terbatas, seseorang tersebut dapat membantu orang lain mengidentifikasi hal yang sama yang ia tunjuk sendiri berkat sarana gramatikal yang melengkapi suatu pengalaman tunggal dengan dimensi yang umum.
                Tentu saja dalam komunikasi yang pertama kali saling memahami ini tidak berjalan tanpa kesalahpahaman tertentu. Sebagian besar kata-kata yang digunakan dalam komunikasi adalah polisemis. Kata-kata tersebut memiliki lebih dari satu arti. Namun, fungsi kontekstual wacanalah yang menyaring. Fungsi dialoglah yang memulai fungsi penyaringan dari konteks itu. Yang kontekstual adalah yang dialogis. Dalam arti inilah peran kontekstual dialog mengurangi bidang kesalahpahaman mengenai isi proposisi dan sebagian besar orang berhasil mengatasi ketidakmampuan mengkomunikasikan pengalaman.
                Perlu dicermati, isi proposisi hanya korelat tindakan lokusioner. Selanjutnya, apa yang dapat dikomunikasikan oleh aspek tindak ujaran lain seperti tindakan ilokusiner? Disinilah dialektika tindakan struktur, peristiwa, dan makna paling kompleks. Bagaimana cirri wacana yang konstatif atau performatif, tindakan yang menyatakan sesuatu atau memerintah, mengharap, berjanji, atau memperingatkan dapat dikomunikasikan dan dipahami?  Inilah fungsi dari tindakan ilokusioner.
                Tidak ada keraguan bahwa lebih mudah menyalahkan tindakan ilokusioner yang satu demi tindakan ilokusioner yang lain daripada menyalahpahami tindakan proposisional. Alasan utamanya adalah fakta nonlinguistic terjalin dengan tanda linguistic. Faktor-faktor nonlinguistic itu adalah wajah, gesture, dan intonasi suara. Faktor-faktor ini lebih sulit ditafsirkan karena factor-faktor tersebut tidak bersandar pada unit-unit diskret, kode mereka lebih tidak stabil dan pesan mereka lebih mudah disembunyikan. Namun, tindakan ilokusioner bukan tanpa tanda linguistic. Tanda linguistic untuk tindakan ilokusioner dapat berupa pemakaian modalitas gramatikal seperti indikatif, subjungtif, imperative, dan optatif, serta tenses. Menulis tidak hanya menyimpan tanda linguistic ujaran lisan, ia juga menambah tanda pembeda pelengkap seperti tanda kutip, tanda seru, dan tanda tanya untuk menunjukkan ekspresi gesture dan wajah, yang hilang ketika pembicara menjadi penulis. Dalam banyak hal tindakan ilokusioner dapat dikomunikasikan sejauh “grammar”nya melengkapi peristiwa itu dengan struktur yang umum.
                Kriteria noetik merupakan intense dari kemampuan berkomunikasi, harapan pengakuan dalam tindakan intensional itu sendiri. Noetik adalah jiwa wacana sebagai dialog. Oleh karena itu, perbedaan antara yang lokusioner dan yang ilokusioner tidak ada selain kehadiran intense di dalam yang pertama dan ketidakhadiran intense dalam yang kedua untuk menghasilkan pada pendengar suatu tindakan mental tertentu (perlokusioner) di mana si pendengar akan mengakui intense interlokutor.
                Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian ini adalag
1.       Bahasa itu sendiri adalah proses di mana pengalaman individual dibuat menjadi umum;
2.       Bahasa adalah eksteriorisasi di mana impresi ditingkatkan menjadi ex-pressi atau dengan kata lain transformasi psikis ke noetik.