expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Senin, 23 Februari 2015

BAHASA SEBAGAI WACANA OLEH FATAH YASIN



WACANA
Oleh: Moh. Fatah Yasin


BAHASA SEBAGAI WACANA
Istilah-istilah yang membicarakan masalah bahasa sebagai wacana pada dasarnya baru. Baru dalam arti istilah-istilah tersebut tidak dapat dirumuskan secara memadai tanpa adanya kemajuan yang luar biasa dalam bidang linguistic modern. Jika istilah-istilah wacana dianggap baru, tetapi sebenarnya masalah-masalah wacana sendiri bukanlah masalah baru.
Masalah-masalah wacana terebut telah disinggung dalam Cratylus, Plato telah menunjukkan bahwa masalah “kebenaran” kata/nama yang berdiri sendiri harus tetap tidak ditentukan karena menamai tidak menjelaskan kekuatan atau fungsi berbicara. Logos bahasa memerlukan sedikit-dikitnya nama dan verba. Jalinan dua kata itulah yang membentuk unit pertama bahasa dan pemikiran. Kesatuan ini menuntut akan kebenaran dari kesatuan itu.
Masalah tersebut berulang lagi dalam karya Plato yang lebih matang seperti Theaetetus dan Sophis. Dalam karya tersebut Plato mengatakan bagaimana memahami sesuatu, karena sesuatu itu bersifat “mungkin”.  Berbicara menurut Plato adalah selalu mengatakan sesuatu. Bertolak dari pendapatnya itu, akhirnya Plato terpaksa menyimpulkan bahwa suatu kata dengan sendirinya tidak benar tidak pula salah, meskipun suatu kombinasi kata-kata bisa berarti sesuatu meskipun tidak menangkap sesuatu. Pembawa paradoks ini adalah kalimat, bukan kata.
Paradigma di atas ini merupakan konteks pertama tentang konsep wacana. Dalam pemikiran tersebut ditemukan bahwa salah dan benar adalah “kecenderungan” wacana. Wacana memerlukan dua tanda dasar yaitu kata benda dan kata kerja yang dikaitkan dalam satu sintesis yang melampaui kata-kata. Aristoteles menyatakan hal yang sama dalam bukunya On Interpretation. Dia mengatakan “Nomina mempunyai makna yang dipunyai verba, di samping makna juga indikasi waktu. Hanya konjungsinya menampilkan rantai/hubungan predikatif yang selanjutnya disebut logos wacana. Unit sintesis inilah yang membawa tindakan ganda pernyataan lain, dan pernyataan ini bisa benar atau salah.
Setelah masa ini masalah wacana menjadi masalah murni (genuine) karena wacana sekarang dipertentangkan dengan istilah yang sebaliknya yang tidak dikenal atau dianggap sudah semestinya oleh filsuf kuno. Istilah lawan ini sekarang menjadi objek otonom penelitian ilmiah. Istilah sebaliknya itu beranggapan bahwa kode linguistiklah yang memberi struktur khas bagi setiap sistem linguistic, yang orang umum mengenalnya sebagai macam-macam bahasa yang diucapkan oleh komunitas linguistic yang berbeda. Bahasa di sini kemudian berarti sesuatu yang lain daripada kapasitas umum untuk berbicara atau kompetensi berbicara yang umum. Ia menunjuk pada struktur dari sistem linguistic.
Munculnya kata-kata “struktur” dan  “sistem” memunculkan problematic yang baru dalam bidang wacana.  Munculnya kata-kata tersebut berimplikasi bahwa wacana bukan bagian dari linguistic, karena perhatian utama linguistic adalah bahasa sebagai struktur dan sistem dan bukan dipakai sebagai “digunakan”. Oleh karena itu, dalam pembahasan linguistic awalnya wacana tidak didudukkan sebagai masalah genuine linguistic, karena linguistic tidak pernah mempertimbangkan isi pesan, maksud/tujuan penggunaan bahasa, jenis media penyampai,  konteks, waktu, dan status pengguna bahasa.


LANGUE DAN PAROLE : MODEL STRUKTURAL
                Mundurnya masalah wacana dalam studi bahasa kontemporer diakibatkan oleh terlalu kuatnya pengaruh Cours de Linguistique General dari linguis Swiss Saussure. Karyanya bertumpu pada perbedaan fundamental antara bahasa sebagai langue dan sebagai parole. Pendapat inilah yang membentuk linguistic modern. Perlu diperhatikan bahwa Saussure dalam hal ini tidak bicara “wacana” , tetapi “parole”.
                Pendapat Saussure ini sebenarnya banyak dipengaruhi oleh pendapat Durkheim. Saussure berpendapat bahwa linguistic adalah cabang dari sosiologi. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan terhadap dikotomi penting ini jika dikaitkan dengan beberapa perbedaan tambahan. Pesan itu individual, kodenya kolektif. Pesan dan kode tidak termasuk waktu tidak bisa diperlakukan sama.
                Pesan adalah peristiwa atemporal dalam urutan-urutan peristiwa yang merupakan dimensi diakronis waktu, sedangkan kode ada dalam waktu sebagai seperangkat unsure yang sewaktu, yaitu sebagai sistem sinkronis.
                Pesan itu intensional. Ia direncanakan oleh seseorang. Kode anonim dan tidak direncanakan. Dalam hal ini kode tidak disadari, bukan dalam arti bahwa dorongan dan impuls tidak disadari menurut metapsikologi Frudian, tetapi dalam arti tidak disadari secara structural nonlibidinal dan kultural.
                Pesan itu arbitrer dan kontingen/tidak pasti, sedang kode itu sistematik dan memaksa bagi masyarakat yang berbicara. Pertentangan terakhir ini mecerminkan bahwa pendapat Saussure tentang “parole” dan “langue” jatuh pada ranah kedekatan kode untuk penelitian ilmiah tentang fonologis, leksikal, dan sintaksis. Parole secara ilmiah hanya membahas akustik, fisiologi, sosiologi dan sejarah perubahan semantic, sedangkan langue adalah objek satu ilmu deskripsi sistem sinkronis bahasa. Pendapat Saussure ini akan menyebabkan terkurungnya “pesan”  untuk kebutuhan kode, “peristiwa” untuk kebutuhan sistem, “intensi” untuk kebutuhan struktur, dan “kesewenang-wenangan tindakan” untuk sistematisitas kombinasi dalam sistem sinkronis.
                Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa postulat model structural , yaitu:
1.       Pendekatan sinkronis harus mendahului pendekatan diakronis apa pun karena sistem lebih dapat dipahami daripada perubahan. Perubahan itu adalah perubahan sebagian atau seluruh dalam suatu keadaan dari suatu sistem. Oleh karena itu, sejarah perubahan harus dating setelah teori yang mendeskripsikan keadaan sinkronis sistem itu.
2.       Kasus paradigmatic untuk pendekatan structural adalah kasus seperangkat entitas diskrete yang terbatas. Sistem fonologi mungkin tampak memuaskan postulat kedua ini secara langsung daripada yang dilakukan sistem leksikal dimana kreteria keterbatasan lebih sulit diterapkan secara konkrit.
3.       Dalam sistem tanda hanya ada perbedaan, tetapi tidak ada eksisistensi substansial (Saussure). Postulat ini membatasi sifat formal entitas linguistic. Formal di sini dipertentangkan dengan substansial dalam arti eksistensi positif otonom dari entitas yang dipertaruhkan dalam linguistic dan pada umumnya, dalam semiotic.
4.       Dalam sistem terbatas semacam itu, semua hubungan itu imanen terhadap sistem. Dalam hal ini sistem semiotic itu tertutup dalam arti tanpa hubungan dengan realitas`eksternal nonsemiotik. Definisi tanda yang diberikan oleh Saussure telah menyiratkan postulat ini (tanda dan benda bersifat permanen). Padahal semiotic sebenarnya bersifat terbuka tetapi dibatasi oleh hubungan eksternal antara tanda dan benda.
Berdasarkan postulat di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa bahasa dalam teori structural tidak lagi tampak sebagai mediasi antara pikiran dan benda. Bahasa didudukkan sebagai dunia tertutup, dimana setiap hal hanya mengacu pada hal lain dari sistem yang sama, karena saling berpengaruh oposisi dan perbedaan yang konstitutif dari sitem itu. Oleh karena itu, bahasa tidak lagi diperlakukan sebagai “bentuk kehidupan” , tetapi sebagai sistem swasembada hubungan batin. Pada titik ekstrem ini bahasa didudukkan sebagai wacana hilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar