WACANA
MAKNA
SEBAGAI “SENSE” DAN “REFERENCE”
OLEH
MOH. FATAH
YASIN
MAKNA SEBAGAI
“SENSE” DAN “REFERENCE”
Dalam
dua pertemuan terdahulu dialektika peristiwa dan makna telah berkembang sebagai
dialektika batin makna wacana. Makna adalah apa yang dilakukan
pembaca/pendengar. Makna juga sesuatu yang dilakukan kalimat. Makna tuturan
(dalam arti isi proposisi adalah sisi “objektif” makna ini. Makna penutur—mempunyai arti rangkap tiga,
yaitu acuan diri kalimat, dimensi ilokusioner tindak ujaran, dan intense
pengakuan oleh pembaca/pendengar. Intensi pengakuan oleh pembaca/pendengar ini
merupakan sisi “subjektif” makna itu.
Dialektika
subjektif-objektif ini tidak menjelaskan maknanya makna (the meaning of meaning) dan oleh sebab itu tidak menjelaskan struktur
wacana. Sisi “objektif” wacana itu sendiri bisa dijelaskan melalui dua cara
yang berbeda, yaitu di satu sisi boleh diartikan “apa” wacana dan “tentang apa”
wacana.
“Apa”nya
wacana adalah “sense”nya dan “tentang apa” wacana adalah “reference”nya. Perbedaan
antara sense dan reference diperkenalkan dalam filsafat modern oleh Gottlob
Frege dalam artikelnya yang terkenal “Ueber
Sinn und Bedeutung”, yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai “On Sense and Reference” oleh Max
Black dalam buku “Translations from the
Philosiphical of Gottlob Frege”. Di dalam artikel ini sense dan reference
dibedakan secara langsung yang dikaitkan dengan perbedaan awal yang telah kita
singgung minggu yang lalu yaitu perbedaan semiotic dan semantic.
Pada
tingkat kalimat semiotic dan semantic membebaskan kita untuk membedakan yang
dikatakan dan tentang apa yang ia katakan. Dalam system bahasa katakanlah
sebagai leksikon, tidak ada masalah reference; tanda hanya mengacu pada tanda
lain dalam system itu. Namun, jika bentuknya kalimat, maka bahasa diarahkan
melampaui dirinya.
Jika
sense itu imanen terhadap wacana itu dan objektif dalam arti ideal, reference
mengungkapkan gerak di mana bahasa melampaui dirinya sendiri. Dengan kata lain,
sense berkorelasi dengan fungsi identifikasi dan fungsi predikatif dalam
kalimat, dan reference menghubungkan bahasa dengan dunia.
Bedasarkan
uraian di atas membuktikan bahwa bahasa mempunyai acuan hanya jika ia
digunakan. Kalimat yang sama bisa mempunyai sense yang sama bisa juga memiliki
sense yang berbeda bergantung pada lingkungan atau situasi tindakan wacana.
Mengacu adalah apa yang kalimat lakukan dalam situasi tertentu dan menurut
pemakaian tertentu. Mengacu juga merupakan apa yang dilakukan pembicara ketika
ia menerapkan kata-katanya dalam realitas. Seseorang mengacu pada sesuatu pada
waktu tertentu adalah peristiwa (peristiwa ujaran). Peristiwa ini menerima
strukturnya dari makna sebagai sense. Hal ini menunjukkan adanya dialektika
peristiwa dan makna menerima suatu perkembangan baru dari dilektika sense dan
reference.
Dialektika
sense dan reference ini begitu orisinal sehingga ia dapat dianggap sebagai
pedoman yang bebas. Hanya dialektika ini yang mengatakan sesuatu hubungan
antara bahasa dengan kondisi ontologism yang berada di dunia. Bahasa bukanlah
suatu dunia sendiri. Ia bahkan bukan suatu dunia. Tetapi, karena kita berada di
dunia, kita dipengaruhi oleh situasi, dan kita mengorientasikan diri kita
secara komprehensif di dalam situasi itu, kita memiliki sesuatu untuk dikatakan,
kita memiliki pengalaman untuk dibawa ke bahasa.
Pengertian
membawa pengalaman ke bahasa ini adalah kondisi ontologism referensi. Kondisi
ontologism yang tercermin dalam bahasa sebagai postulat yang tidak memiliki
pembenaran imanen. Menurut postulat itu, kita meyakini eksistensi benda-benda
yang kita identifikasi. Kita meyakini bahwa sesuatu harus ada agar sesuatu itu
bisa diidentifikasi. Postulat eksistensi sebagai dasar identifikasi ini adalah
apa yang dimaksud Frege dengan mengatakan seseorang pengujar tidak puas dengan
sense saja, tetapi ia juga meyakini reference.
Dialektika
sense dan reference ini begitu penting untuk dipahami, karena dialektika ini
mempunyai postulat bahasa sama sekali tidak referensial. Dalam hal ini bahasa
diragukan mempunyai makna. Selanjutnya, bagaimana kita mengetahui bahwa tanda
berarti sesuatu, jika tanda itu tidak terarah kepada sesuatu yang menyebabkan
tanda itu berada di dalam wacana? Akhirnya, Semiotik tampil sebagai abstraksi
semantic belaka. Di sinilah definisi semiotic sebagai tanda sebagai perbedaan
imanen antara penanda dan petanda memerlukan definisi
semantiknya sebagai referens ke benda yang menyebabkan benda itu berada di
sana. Definisi semantic yang paling kongkrit adalah teori yang menghubungkan
konstitusi sense yang imanen ke intense reference yang transenden.
Makna
universal dari masalah reference ini begitu luas sehingga makna penutur harus
diungkapkan dalam bahasa acuan sebagai acuan diri wacana, yaitu sebagai
penunjuk pembicaranya oleh struktur wacana itu. Wacana mengacu kembali ke
pembicaranya pada saat yang sama ia mengacu ke dunia. Korelasi ini tidaklah
kebetulan, karena pada akhirnya si pembicaralah yang mengacu pada dunia dalam
berbicara. Wacana dalam tindakan dan dalam pemakaian mengacu ke given dan new information, ke pembicara dan ke dunia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar