expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Minggu, 22 Februari 2015

ACUAN DIRI WACANA OLEH FATAH YASIN



WACANA
OLEH
MOH. FATAH YASIN

MAKNA PENUTUR DAN MAKNA TUTURAN
ACUAN DIRI WACANA
Konsep wacana membolehkan dua penafsiran yang mencerminkan dialektika utama antara peristiwa dan makna. Makna adalah apa yang pembicara maksud, yaitu apa yang ia rencanakan untuk dikatakan, dan apa yang kalimat maksud yang merupakan hasil konjungsi antara fungsi identifikasi dan fungsi predikatif. Makna dengan kata lain adalah sekaligus noetik dan noematik.
Kita bisa menguhubungkan acuan wacana ke pembicaranya dengan sisi dialektika peristiwa. Peristiwa adalah seseorang yang berbicara. Dalam hal ini system atau kode itu anaonim sejauh bahwa ia hanya virtual. Bahasa tidak berbicara. Orang-oranglah yang berbicara. Namun, sisi proposisional acuan diri wacana harus tidak diremehkan jika makna penutur, (meminjam istilah Grice) tidak diredusir hanya ke intense psikologis. Makna mental tidak dapat ditemukan di mana pun kecuali dalam wacana itu sendiri. Makna penutur mempunyai tandanya dalam makna tuturan.
Linguistik wacana, yang disebut semantic untuk membedakannya dari semiotic, memberikan jawabannya. Struktur batin kalimat mengacu kembali ke pembicara melalui prosedur gramatikal, yang oleh para linguis disebut “shifters”. Kata ganti orang misalnya, tidak memiliki makna objektif. “Saya” bukan konsep. Tidak mungkin mengganti “saya” dengan ekspresi universal seperti “orang yang sekarang berbicara”. Hanya fungsinya adalah mengacukan seluruh kalimat pada subjek peristiwa ujaran. Kata ganti tersebut memiliki makna baru setiap kali kata ganti tersebut digunakan dan setiap kali ia mengacu pada subjek singular. “Saya” adalah orang yang dalam berbicara menerapkan pada dirinya sendiri. Untuk memahami kata “Saya” perlu memperhatikan shifters lain yang membawa acuan gramatikal wacana lain ke pembicaranya juga, misalnya adverbial waktu, ruang dan kata penunjuk yang bisa dianggap sebagai particular egosentris. Oleh sebab itu, wacana memiliki banyak cara yang dapat menggantikan dalam mengacu kembali ke pembicaranya.
Jika kita memberikan perhatian pada sarana gramatikal mengenai acuan diri wacana ini kita memperoleh dua keuntungan. Di satu pihak kita mendapatkan criteria baru perbedaan antara wacana dank ode linguistic. Di lain pihak, kita dapat member definisi makna penutur yang nonpsikologis, karena betul-betul semantic. Tidak ada entitas mental yang perlu dihipotesiskan atau dianggap sebagai realitas. Makna tuturan menunjuk kembali ke makna penutur berkat acuan diri wacana ke dirinya sebagai peristiwa.
TINDAKAN LOKUSIONER DAN ILOKUSIONER
                Sumbangan pertama pada pendekatan semantic adalah analisis linguistic (Anglo Amerikan) “tindak ujaran” yang terkenal J.L. Austin adalah yang pertama memperhatikan bahwa “performatives”, seperti “janji” menyiratkan adanya komitmen khusus si pembicara untuk melakukan apa yang dikatakannya dalam berbicara itu. Dengan berkata “Saya berjanji”, ia betul-betul berjanji, yaitu meletakkan dirinya di bawah kewajiban melakukan apa yang dikatakannya akan dilakukan.  “Tindakan” berkata ini bisa diasimilasikan dengan kutub peristiwa pada dialektika peristiwa dan makna. Namun, “tindakan” ini juga mengikuti peraturan semantic yang ditunjukkan oleh struktur kalimat itu: verba harus menjadi verba orang pertama indikatif. Dalam hal ini suatu “grammar” khusus mendukung kekuatan performatif wacana itu. Performatives hanyalah kaus khusus dari sifat umum yang ditunjukkan oleh setiap kelompok tindak ujaran, apakah tindak ujaran itu perintah, harapan, pertanyaan, atau pengakuan, semuanya selain mengatakan sesuatu (tindakan lokusioner), melakukan sesuatu di dalam berkata (tindakan ilokusioner), dan menghasilkan akibat dengan berkata (perlokusioner).
                Tindakan ilokusioner adalah apa yang membedakan janji dengan perintah, keinginan, atau pernyataan. Kekuatan tindakan ilokusioner menghadirkan dialektika peristiwa dan makna yang sama. Dalam setiap kasus “gramar” yang khas sesuai dengan intensi tertentu dimana tindakan ilokusioner mengungkapkan kekuatan yang berbeda. Apa yang dapat diungkapkan dalam istilah psikologi seperti mempercayai, menginginkan, atau menghasratkan, ditanam dengan eksistensi semantic berkat korelasi antara sarana gramatikal ini dan tindakan ilokusuioner itu.
TINDAKAN INTERLOKUSIONER
                Sumbangan lain pada dialektika peristiwa dengan isi proposisi diberikan oleh apa yang disebut tindakan interlokusioner atau tindakan alokusioner untuk menjaga simetri dengan aspek ilokusioner tindak ujaran.
                Satu aspek penting wacana adalah bahwa ia disampaikan kepada seseorang. Ada pembicara lain yang merupakan si penerima dari wacana itu. Kehadiran pasangan pembicara dan pendengar membuat bahasa sebagai komunikasi. Namun, studi bahasa dari sudut komunikasi tidak dimulai dengan sosiologi komunikasi. Coba cermati pendapat Plato yang mengatakan dialog adalah struktur penting wacana. Bertanya dan menjawab, mempertahankan gerakan dan dinamika berbicara dan dalam satu arti keduanya tidak membentuk mode wacana yang satu di antara mode wacana lain. Setiap tindakan ilokusioner adalah sejenis pertanyaan. Menyatakan sesuatu adalah mengharapkan persetujuan, persis`seperti member perintah adalah mengharapkan kepatuhan. Bahkan solilokui---wacana soliter—adalah dialog dengan diri sendiri, atau untuk mengutip Plato sekali lagi, diaonia adalah dialog jiwa dengan dirinya.  
                Beberapa linguis berusaha merumuskan kembali semua fungsi bahasa sebagai variable dalam suatu model yang menyatakan komunikasi adalah kuncinya. Roman Jacobson, misalnya, mulai dari hubungan rangkap tiga antara pembicara, pendengar, dan pesan, kemudian menambah tiga factor pelengkap yang memperkaya modelnya. Ketiga factor pelengkap itu adalah kode, kontak, dan konteks. Atas`dasar enam system factor ini ia membangun enam skema fungsi. Pembicara sejajar dengan fungsi emotifnya, pendengar dengan fungsi konatif, pesan dengan fungsi poetic. Kode menunjuk fungsi metalinguistik, sedangkan kontak dan konteks adalah pembawa fungsi referensial dan fatik.
                Model ini menarik karena model ini dapat mencerminkan (1) mendeskripsikan wacana secara langsung dan tidak sebagai sisa bahasa, (2) mendeskripsikan struktur wacana dan tidak hanya peristiwa irrasional, dan (3) model ini tidak mengutamakan fungsi kode pada operasi komunikasi yang berhubungan.
                Untuk memahami model ini aspek baru dialektika peristiwa dan makna patut mendapat perhatian. Peristiwa bukan hanya pengalaman sebagai diungkapkan dan dikomunikasikan, tetapi juga pertukaran intersubjektifitas itu sendiri dalam peristiwa dialog. Dialog adalah peristiwa yang menghubungkan dua peristiwa, peristiwa berbicara dan peristiwa mendengar. Dalam peristiwa dialog inilah pemahaman sebagai makna homogen. Sampai di sini ada satu pertanyaan “aspek apa dari wacana itu sendiri yang dikomunikasikan secara bermakna dalam peristiwa dialog?
                Jawaban pertama jelas. Apa yang dapat dikomunikasikan pertama-tama adalah isi proposisi wacana, dan kita dibawa kembali ke criteria utama kita yaitu wacana sebagai peristiwa plus makna. Oleh karena itu, arti sebuah kalimat adalah apa yang dikatakan bukan apa yang dimaksud (pesan). Arti kalimat (yang dikatakan) dapat ditransfer dalam peristiwa yang lain, tidak demikian dengan maksud (pesan).
                Pesan memiliki dasar kemampuannya untuk dapat dikomunikasikan dalam struktur maknanya. Hal ini mengandung arti bahwa seseorang dalam berkomunikasi sebenarnya mengkomunikasikan sintesis baik fungsi identifikasi (darimana subjek logika adalah pembawanya) dan fungsi predikatif  (yang secara universal potensial). Berbicara kepada seseorang (lihat juga solilokui  dan diaonia) berarti seseorang itu menunjuk kea rah hal yang unik yang dimaksud, berkat sarana nama diri, kata penunjuk, dan deskripsi yang terbatas, seseorang tersebut dapat membantu orang lain mengidentifikasi hal yang sama yang ia tunjuk sendiri berkat sarana gramatikal yang melengkapi suatu pengalaman tunggal dengan dimensi yang umum.
                Tentu saja dalam komunikasi yang pertama kali saling memahami ini tidak berjalan tanpa kesalahpahaman tertentu. Sebagian besar kata-kata yang digunakan dalam komunikasi adalah polisemis. Kata-kata tersebut memiliki lebih dari satu arti. Namun, fungsi kontekstual wacanalah yang menyaring. Fungsi dialoglah yang memulai fungsi penyaringan dari konteks itu. Yang kontekstual adalah yang dialogis. Dalam arti inilah peran kontekstual dialog mengurangi bidang kesalahpahaman mengenai isi proposisi dan sebagian besar orang berhasil mengatasi ketidakmampuan mengkomunikasikan pengalaman.
                Perlu dicermati, isi proposisi hanya korelat tindakan lokusioner. Selanjutnya, apa yang dapat dikomunikasikan oleh aspek tindak ujaran lain seperti tindakan ilokusiner? Disinilah dialektika tindakan struktur, peristiwa, dan makna paling kompleks. Bagaimana cirri wacana yang konstatif atau performatif, tindakan yang menyatakan sesuatu atau memerintah, mengharap, berjanji, atau memperingatkan dapat dikomunikasikan dan dipahami?  Inilah fungsi dari tindakan ilokusioner.
                Tidak ada keraguan bahwa lebih mudah menyalahkan tindakan ilokusioner yang satu demi tindakan ilokusioner yang lain daripada menyalahpahami tindakan proposisional. Alasan utamanya adalah fakta nonlinguistic terjalin dengan tanda linguistic. Faktor-faktor nonlinguistic itu adalah wajah, gesture, dan intonasi suara. Faktor-faktor ini lebih sulit ditafsirkan karena factor-faktor tersebut tidak bersandar pada unit-unit diskret, kode mereka lebih tidak stabil dan pesan mereka lebih mudah disembunyikan. Namun, tindakan ilokusioner bukan tanpa tanda linguistic. Tanda linguistic untuk tindakan ilokusioner dapat berupa pemakaian modalitas gramatikal seperti indikatif, subjungtif, imperative, dan optatif, serta tenses. Menulis tidak hanya menyimpan tanda linguistic ujaran lisan, ia juga menambah tanda pembeda pelengkap seperti tanda kutip, tanda seru, dan tanda tanya untuk menunjukkan ekspresi gesture dan wajah, yang hilang ketika pembicara menjadi penulis. Dalam banyak hal tindakan ilokusioner dapat dikomunikasikan sejauh “grammar”nya melengkapi peristiwa itu dengan struktur yang umum.
                Kriteria noetik merupakan intense dari kemampuan berkomunikasi, harapan pengakuan dalam tindakan intensional itu sendiri. Noetik adalah jiwa wacana sebagai dialog. Oleh karena itu, perbedaan antara yang lokusioner dan yang ilokusioner tidak ada selain kehadiran intense di dalam yang pertama dan ketidakhadiran intense dalam yang kedua untuk menghasilkan pada pendengar suatu tindakan mental tertentu (perlokusioner) di mana si pendengar akan mengakui intense interlokutor.
                Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian ini adalag
1.       Bahasa itu sendiri adalah proses di mana pengalaman individual dibuat menjadi umum;
2.       Bahasa adalah eksteriorisasi di mana impresi ditingkatkan menjadi ex-pressi atau dengan kata lain transformasi psikis ke noetik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar