WACANA
OLEH
MOH. FATAH YASIN
MAKNA PENUTUR DAN MAKNA TUTURAN
ACUAN DIRI WACANA
Konsep wacana membolehkan dua
penafsiran yang mencerminkan dialektika utama antara peristiwa dan makna. Makna
adalah apa yang pembicara maksud, yaitu apa yang ia rencanakan untuk dikatakan,
dan apa yang kalimat maksud yang merupakan hasil konjungsi antara fungsi
identifikasi dan fungsi predikatif. Makna dengan kata lain adalah sekaligus
noetik dan noematik.
Kita bisa menguhubungkan acuan
wacana ke pembicaranya dengan sisi dialektika peristiwa. Peristiwa adalah
seseorang yang berbicara. Dalam hal ini system atau kode itu anaonim sejauh
bahwa ia hanya virtual. Bahasa tidak berbicara. Orang-oranglah yang berbicara.
Namun, sisi proposisional acuan diri wacana harus tidak diremehkan jika makna
penutur, (meminjam istilah Grice) tidak diredusir hanya ke intense psikologis.
Makna mental tidak dapat ditemukan di mana pun kecuali dalam wacana itu
sendiri. Makna penutur mempunyai tandanya dalam makna tuturan.
Linguistik wacana, yang disebut
semantic untuk membedakannya dari semiotic, memberikan jawabannya. Struktur
batin kalimat mengacu kembali ke pembicara melalui prosedur gramatikal, yang
oleh para linguis disebut “shifters”. Kata ganti orang misalnya, tidak memiliki
makna objektif. “Saya” bukan konsep. Tidak mungkin mengganti “saya” dengan
ekspresi universal seperti “orang yang sekarang berbicara”. Hanya fungsinya
adalah mengacukan seluruh kalimat pada subjek peristiwa ujaran. Kata ganti
tersebut memiliki makna baru setiap kali kata ganti tersebut digunakan dan
setiap kali ia mengacu pada subjek singular. “Saya” adalah orang yang dalam
berbicara menerapkan pada dirinya sendiri. Untuk memahami kata “Saya” perlu
memperhatikan shifters lain yang membawa acuan gramatikal wacana lain ke
pembicaranya juga, misalnya adverbial waktu, ruang dan kata penunjuk yang bisa
dianggap sebagai particular egosentris. Oleh sebab itu, wacana memiliki banyak
cara yang dapat menggantikan dalam mengacu kembali ke pembicaranya.
Jika kita memberikan perhatian
pada sarana gramatikal mengenai acuan diri wacana ini kita memperoleh dua
keuntungan. Di satu pihak kita mendapatkan criteria baru perbedaan antara
wacana dank ode linguistic. Di lain pihak, kita dapat member definisi makna
penutur yang nonpsikologis, karena betul-betul semantic. Tidak ada entitas
mental yang perlu dihipotesiskan atau dianggap sebagai realitas. Makna tuturan
menunjuk kembali ke makna penutur berkat acuan diri wacana ke dirinya sebagai
peristiwa.
TINDAKAN LOKUSIONER DAN ILOKUSIONER
Sumbangan pertama pada
pendekatan semantic adalah analisis linguistic (Anglo Amerikan) “tindak ujaran”
yang terkenal J.L. Austin adalah yang pertama memperhatikan bahwa
“performatives”, seperti “janji” menyiratkan adanya komitmen khusus si
pembicara untuk melakukan apa yang dikatakannya dalam berbicara itu. Dengan
berkata “Saya berjanji”, ia betul-betul berjanji, yaitu meletakkan dirinya di
bawah kewajiban melakukan apa yang dikatakannya akan dilakukan. “Tindakan” berkata ini bisa diasimilasikan
dengan kutub peristiwa pada dialektika peristiwa dan makna. Namun, “tindakan”
ini juga mengikuti peraturan semantic yang ditunjukkan oleh struktur kalimat
itu: verba harus menjadi verba orang pertama indikatif. Dalam hal ini suatu
“grammar” khusus mendukung kekuatan performatif wacana itu. Performatives
hanyalah kaus khusus dari sifat umum yang ditunjukkan oleh setiap kelompok
tindak ujaran, apakah tindak ujaran itu perintah, harapan, pertanyaan, atau
pengakuan, semuanya selain mengatakan sesuatu (tindakan lokusioner), melakukan
sesuatu di dalam berkata (tindakan ilokusioner), dan menghasilkan akibat dengan
berkata (perlokusioner).
Tindakan ilokusioner adalah apa
yang membedakan janji dengan perintah, keinginan, atau pernyataan. Kekuatan
tindakan ilokusioner menghadirkan dialektika peristiwa dan makna yang sama.
Dalam setiap kasus “gramar” yang khas sesuai dengan intensi tertentu dimana
tindakan ilokusioner mengungkapkan kekuatan yang berbeda. Apa yang dapat
diungkapkan dalam istilah psikologi seperti mempercayai, menginginkan, atau
menghasratkan, ditanam dengan eksistensi semantic berkat korelasi antara sarana
gramatikal ini dan tindakan ilokusuioner itu.
TINDAKAN INTERLOKUSIONER
Sumbangan lain pada dialektika
peristiwa dengan isi proposisi diberikan oleh apa yang disebut tindakan
interlokusioner atau tindakan alokusioner untuk menjaga simetri dengan aspek
ilokusioner tindak ujaran.
Satu aspek penting wacana adalah
bahwa ia disampaikan kepada seseorang. Ada pembicara lain yang merupakan si
penerima dari wacana itu. Kehadiran pasangan pembicara dan pendengar membuat
bahasa sebagai komunikasi. Namun, studi bahasa dari sudut komunikasi tidak
dimulai dengan sosiologi komunikasi. Coba cermati pendapat Plato yang
mengatakan dialog adalah struktur penting wacana. Bertanya dan menjawab,
mempertahankan gerakan dan dinamika berbicara dan dalam satu arti keduanya
tidak membentuk mode wacana yang satu di antara mode wacana lain. Setiap
tindakan ilokusioner adalah sejenis pertanyaan. Menyatakan sesuatu adalah
mengharapkan persetujuan, persis`seperti member perintah adalah mengharapkan
kepatuhan. Bahkan solilokui---wacana
soliter—adalah dialog dengan diri sendiri, atau untuk mengutip Plato sekali
lagi, diaonia adalah dialog jiwa
dengan dirinya.
Beberapa linguis berusaha
merumuskan kembali semua fungsi bahasa sebagai variable dalam suatu model yang
menyatakan komunikasi adalah kuncinya. Roman Jacobson, misalnya, mulai dari
hubungan rangkap tiga antara pembicara, pendengar, dan pesan, kemudian menambah
tiga factor pelengkap yang memperkaya modelnya. Ketiga factor pelengkap itu
adalah kode, kontak, dan konteks. Atas`dasar enam system factor ini ia
membangun enam skema fungsi. Pembicara sejajar dengan fungsi emotifnya,
pendengar dengan fungsi konatif, pesan dengan fungsi poetic. Kode menunjuk
fungsi metalinguistik, sedangkan kontak dan konteks adalah pembawa fungsi
referensial dan fatik.
Model ini menarik karena model
ini dapat mencerminkan (1) mendeskripsikan wacana secara langsung dan tidak
sebagai sisa bahasa, (2) mendeskripsikan struktur wacana dan tidak hanya
peristiwa irrasional, dan (3) model ini tidak mengutamakan fungsi kode pada
operasi komunikasi yang berhubungan.
Untuk memahami model ini aspek
baru dialektika peristiwa dan makna patut mendapat perhatian. Peristiwa bukan
hanya pengalaman sebagai diungkapkan dan dikomunikasikan, tetapi juga
pertukaran intersubjektifitas itu sendiri dalam peristiwa dialog. Dialog adalah
peristiwa yang menghubungkan dua peristiwa, peristiwa berbicara dan peristiwa
mendengar. Dalam peristiwa dialog inilah pemahaman sebagai makna homogen. Sampai
di sini ada satu pertanyaan “aspek apa dari wacana itu sendiri yang
dikomunikasikan secara bermakna dalam peristiwa dialog?
Jawaban pertama jelas. Apa yang
dapat dikomunikasikan pertama-tama adalah isi proposisi wacana, dan kita dibawa
kembali ke criteria utama kita yaitu wacana sebagai peristiwa plus makna. Oleh
karena itu, arti sebuah kalimat adalah apa yang dikatakan bukan apa yang
dimaksud (pesan). Arti kalimat (yang dikatakan) dapat ditransfer dalam
peristiwa yang lain, tidak demikian dengan maksud (pesan).
Pesan memiliki dasar
kemampuannya untuk dapat dikomunikasikan dalam struktur maknanya. Hal ini
mengandung arti bahwa seseorang dalam berkomunikasi sebenarnya mengkomunikasikan
sintesis baik fungsi identifikasi (darimana subjek logika adalah pembawanya)
dan fungsi predikatif (yang secara
universal potensial). Berbicara kepada seseorang (lihat juga solilokui dan diaonia)
berarti seseorang itu menunjuk kea rah hal yang unik yang dimaksud, berkat
sarana nama diri, kata penunjuk, dan deskripsi yang terbatas, seseorang
tersebut dapat membantu orang lain mengidentifikasi hal yang sama yang ia
tunjuk sendiri berkat sarana gramatikal yang melengkapi suatu pengalaman tunggal
dengan dimensi yang umum.
Tentu saja dalam komunikasi yang
pertama kali saling memahami ini tidak berjalan tanpa kesalahpahaman tertentu.
Sebagian besar kata-kata yang digunakan dalam komunikasi adalah polisemis.
Kata-kata tersebut memiliki lebih dari satu arti. Namun, fungsi kontekstual
wacanalah yang menyaring. Fungsi dialoglah yang memulai fungsi penyaringan dari
konteks itu. Yang kontekstual adalah yang dialogis. Dalam arti inilah peran
kontekstual dialog mengurangi bidang kesalahpahaman mengenai isi proposisi dan
sebagian besar orang berhasil mengatasi ketidakmampuan mengkomunikasikan
pengalaman.
Perlu dicermati, isi proposisi
hanya korelat tindakan lokusioner. Selanjutnya, apa yang dapat dikomunikasikan
oleh aspek tindak ujaran lain seperti tindakan ilokusiner? Disinilah dialektika
tindakan struktur, peristiwa, dan makna paling kompleks. Bagaimana cirri wacana
yang konstatif atau performatif, tindakan yang menyatakan sesuatu atau
memerintah, mengharap, berjanji, atau memperingatkan dapat dikomunikasikan dan
dipahami? Inilah fungsi dari tindakan
ilokusioner.
Tidak ada keraguan bahwa lebih
mudah menyalahkan tindakan ilokusioner yang satu demi tindakan ilokusioner yang
lain daripada menyalahpahami tindakan proposisional. Alasan utamanya adalah fakta
nonlinguistic terjalin dengan tanda linguistic. Faktor-faktor nonlinguistic itu
adalah wajah, gesture, dan intonasi suara. Faktor-faktor ini lebih sulit
ditafsirkan karena factor-faktor tersebut tidak bersandar pada unit-unit
diskret, kode mereka lebih tidak stabil dan pesan mereka lebih mudah
disembunyikan. Namun, tindakan ilokusioner bukan tanpa tanda linguistic. Tanda
linguistic untuk tindakan ilokusioner dapat berupa pemakaian modalitas
gramatikal seperti indikatif, subjungtif, imperative, dan optatif, serta
tenses. Menulis tidak hanya menyimpan tanda linguistic ujaran lisan, ia juga
menambah tanda pembeda pelengkap seperti tanda kutip, tanda seru, dan tanda
tanya untuk menunjukkan ekspresi gesture dan wajah, yang hilang ketika
pembicara menjadi penulis. Dalam banyak hal tindakan ilokusioner dapat
dikomunikasikan sejauh “grammar”nya melengkapi peristiwa itu dengan struktur
yang umum.
Kriteria noetik merupakan
intense dari kemampuan berkomunikasi, harapan pengakuan dalam tindakan
intensional itu sendiri. Noetik adalah jiwa wacana sebagai dialog. Oleh karena
itu, perbedaan antara yang lokusioner dan yang ilokusioner tidak ada selain
kehadiran intense di dalam yang pertama dan ketidakhadiran intense dalam yang
kedua untuk menghasilkan pada pendengar suatu tindakan mental tertentu
(perlokusioner) di mana si pendengar akan mengakui intense interlokutor.
Kesimpulan yang dapat diambil
dari uraian ini adalag
1. Bahasa
itu sendiri adalah proses di mana pengalaman individual dibuat menjadi umum;
2. Bahasa
adalah eksteriorisasi di mana impresi ditingkatkan menjadi ex-pressi atau
dengan kata lain transformasi psikis ke noetik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar